[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Selasa, 11 Desember 2018

Lendir Amarah

 \Cerpens\

   Dalam temaram, lelaki itu menatap langit-langit, menenangkan deru napas yang masih terlalu. Berpikir, betapa ajaibnya sebuah rasa. Seperti birahi, yang begitu melelahkan namun selalu saja ingin melampiaskannya, bahkan betapa banyaknya segala perangsang disiapkan demi menginginkan lebih dan lebih.
.
   “Semakin lebih semakin melelahkan, namun hasrat selalu meminta lebih dan lebih.” Pikir lelaki itu. Lelaki itu berbisik sendiri, dan tanpa menyadari sepasang mata  cantik di dekatnya terus memperhatikan.
.
   “ Masih kurang sayang?” Suaranya lembut, terdengar mendesah bercampur lelah. Dari suaranya, perempuan itu ingin cepat mengatur ritme napasnya agar normal. Wajahnya jadi sedikit khawatir, melihat wajah lelaki di dekatnya tampak gelisah.
.
  “Aku puas.” Tukas lelaki itu singkat. Lalu jemari perempuan itu menarik wajah lelaki yang terlentang di samping tubuhnya ke mukanya sendiri, lalu menatap sangat dekat.
.
   “Kamu hebat sayang.” Lagi, perempuan itu tersenyum begitu sensual. Demi mengusir segala gundah mereka masing-masing, kembali kedua bibir itu saling melumat.
.
   “Tidur dulu yuk!” Rajuk perempuan itu, perlahan melepaskan lumatan di bibirnya. Dengan tersenyum, lembut perempuan itu mengelus rambut lelakinya.
.
   “Terima kasih sayang.” Bisik lelaki itu balas tersenyum. Hingga akhirnya perempuan itu benar-benar tertidur dengan senyumnya karena lelah, meninggalkannya terjaga sendiri dalam pelukan. Hampir saja lelaki itu ikut terlelap, namun suara mendesah kembali membuat lelaki itu terjaga.
.
   “Sayang, seperti ada orang di balik pintu.” Bisik lelaki itu membangunkan perempuannya dalam lelap.
.
   “Di rumah ini hanya kita berdua sayang, anakku yang satu-satunya hampir tidak pernah tidur di rumah sejak ayahnya minggat.” Akhirnya perempuan itu terbangun, membalas meski seperti mengigau. Hingga keduanya coba memasang telinga lebih tajam, suara itu tidak lagi terdengar. Perempuan itu terlelap kembali, meninggalkan kembali laki-laki yang terjaga di pelukannya.
*
.
Sebelumnya..
.
   Lelaki itu hanya kesal, karena sang istri menolak bercinta dengan alasan lelah, banyak pikiran, dan entah alasan apa lagi demi menolak untuk bercinta dengan suami sendiri, hingga lelaki itu uring-uringan dan merasa tidak dihargai. Bukan hanya masalah birahi lagi sekarang, namun perasaan hampa seorang pemimpin yang tidak di patuhi, juga tidak dicintai. Sedang sang istri hanya hendak memberikan pelajaran kepada sang suami yang dipikirnya tidak dewasa, kekanakan, karena hanya semangat sebatas birahi. Hidup bukan untuk birahi melulu, pikirnya. Perempuan itu ingin suaminya lebih bertanggung jawab, lebih mapan, demi pemenuhan gizi bagi anak-anaknya, demi masa depan keluarganya. Tapi akal berahi di ubun-ubun suaminya tidak sampai ke sana, lelaki itu hanya ingin bercinta, meluapkan segala hasrat mendesaknya dengan halal, penuh nikmat, dan puas, hingga menghabiskan segala siluman erotis dalam benaknya, yang dilihatnya di luar rumah, di kotak televisi, spanduk iklan, atau di mana saja sebagaimana lazimnya budaya urban sekarang ini, hingga pantat dan dada perempuan tidak lagi langka. Jadinya jakun lelaki itu terus saja naik, dan tak kunjung turun.
.
   Perempuan sungguh curang, pikir sang suami. Membunuh dengan perlahan segala nalar dan konsentrasi yang sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup seorang lelaki. Bahkan sesakti pun para pendekar, juga banyak di buat kalah oleh kehadiran mereka. Ya! Memang, kehadiran para perempuan selalu menggoda di mata laki-laki, meski tidak menggoda (kecuali mata Wiro Sableng, karena dia sudah sableng jadilah wira yang tidak tergoda). Bukankah obat kuat yang di jual hanya untuk para lelaki? Hingga lelaki itu terus memendam dendam, berharap pada kemurahan istrinya, namun harapan pada perempuannya itu kian menipis, hingga ia terpikir untu melempar harapan ke jalanan.
.
   Jangan sombong! Masih ada perempuan lain yang bisa menerimaku apa adanya, pikir laki-laki itu. Semakin mengingat wajah istrinya, semakin dadanya tertekan keinginannya. Hingga jalanan mulai memasuki daerah taman kota yang sejuk, dengan enggan ia memarkir sepeda motornya di tepi jalan. Ia coba menghirup udara lebih banyak agar lapang, merenungi keadaannya yang merasa tersiksa oleh sesuatu yang sangat mendesak bagi seorang laki-laki terhadap perempuan. Ah andai ada pekerjaan yang memberinya banyak uang, pikirnya. Lama sekali membayangkan berbagai peluang, namun pesimis menyadari umurnya tidak lagi muda, bukan pula ia seorang sarjana. Hingga ketika dengan sengaja, matanya menangkap seorang perempuan paruh baya mendekat dari ujung jalan. Insting kelelakian makin memaksa, demi dilihatnya cara berpakaian perempuan itu yang menantang, seperti sengaja mengundang birahi setiap lelaki, meski umurnya tidak lagi muda.
.
   “ Jajan Bang?”
.
   Lelaki itu geleng kepala, tapi mulutnya tersenyum, dan ajaib, perempuan itu membalas senyumnya.
.
   “Kenapa?”
.
   “Nggak papa.”
.
   Perempuan itu tersenyum kecil, membuat lelaki itu terpana tidak mengerti. Apa kepentingannya? pikir lelaki itu dengan heran.
.
   “Tenang saja, aku tidak hendak mencekikmu.”
.
   “Cekik saja!” Lelaki itu tersenyum pahit, tanpa menoleh. Perempuan itu merasakan nada kekesalan dan kesedihan. Perempuan itu jadi iba, lalu duduk di sebelahnya, lelaki itu diam saja.
.
   “Aku kesini sekedar cari angin saja Bang, ngga lebih.”
Perempuan itu mengangguk, namun dirinya masih merasakan aneh. “Abang ngga tahu? taman ini biasa mangkal para PSK?” Perempuan itu berkata pelan, ikut memandangi jalanan. Lelaki di sampingnya masih terdiam, membuat penasaran.
.
  “Kamu sendiri?” Akhirnya, dengan ketus lelaki itu mau menjawab perempuan tidak kenal di sampingnya.
.
  “Aku kesini hanya cari angin, melepas penat.”
.
  “Aneh.”
.
   Dengan hanya tersenyum, alis perempuan itu terangkat, matanya memandang dengan binar, seiring tubuhnya mendekat.
.
   “Sama.” Bisik perempuan itu menyapu lembut daun telinga. Lelaki yang didekatinya terkesiap, merasakan dadanya berdesiran.
**
.
Sebelumnya lagi..
.
  Sebelum lelaki itu bertengkar paling hebat dengan istrinya. Ternyata anak gadis mereka yang paling besar selalu menangis diam-diam, hatinya yang lembut tidak pernah mengerti bagaimana ayah dan ibunya selalu bertengkar hampir setiap hari. Seakan cinta itu benar-benar tak pernah ada, sebagimana cinta yang diidam-idamkannya begitu indah sebagaimana kisah novel remaja yang sempat ia baca. Hingga anak gadis itu pergi dari rumah tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya, hanya ingin hatinya tenang, tiada suara-suara pertengkaran. Cinta dalam angannya itu masih di percayainya begitu indah, dan perihal pertengkaran orang tuanya, gadis itu cukup menyangka sebagai dua orang kekasih yang lupa akan cintanya. Jika cinta dilupa, yang ada hanya amarah, pikirnya. Gadis muda itu jadi teringat kembali dengan cerita ayah teman lelakinyanya yang juga minggat dari rumah. Namun dirinya tidak mengerti, karena dipikirnya pacarnya itu tidak susah seperti dirinya, bahkan termasuk keluarga kaya raya yang mungkin tidak habis hartanya di makan seisi kota.
.
   Segera saja ia mengirim pesan singkat ke pada lelaki yang di rasakannya paling dekat itu, bahwa ia akan datang ke basecamp sebagaimana biasa.
.
  [Aku di rumah, sini!] Lelaki di sebrang sana membalas cepat pesan gawainya.
.
  [Kok ke rumah?]
.
  [Ia tadinya mau ambil duit doang, tapi..]
.
  [Tapi apa?]
.
  [Sudah ah bawel ^__^  cepetan dateng! mumpung sedang seru ]
.
  Seru? Apa ada pesta? Pikir remaja itu. Jaraknya tidak terlalu jauh, dalam beberapa menit kini kedua langkahnya telah mendekati gerbang rumah teman lelakinya itu. Dilihatnya lelaki itu telah menunggu di muka gerbang dengan tidak sabaran, perempuan itu sedikit heran, namun ia tidak berpikir macam-macam, hingga mempercepat langkahnya mengikuti perintah lelaki itu. Lalu keduanya memasuki rumah mewah yang sepi.
.
  “Ikuti aku, dan jangan bertanya dan bicara sepatah katapun.” Bisik lelaki itu menatap tajam ke teman perempuannya. Lalu menarik tangan perempuan itu dengan tergesa menaiki lantai atas.
.
  “Lihat sendiri, kamu akan suka!” Setibanya di lantai dua, lelaki itu berhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Teman lelakinya itu langusng mendorong wajah teman perempuannya mengintip ke dalam kamar. Seketika wajahnya memerah, melihat dua orang yang sedang bercinta, matanya terpana dengan segala aktivitas didepannya --tanpa di sadarinya teman laki-laki di dekatnya meraba-raba perlahan pinggul dan dada. Kedua remaja terbakar gairah tiba-tinba.
.
  “A..!” Tiba-tiba gadis itu berontak.
.
  “SSttt! Jangan berisik, ibuku tidak tahu aku pulang.” Bisik lelaki itu langsung membekap mulut teman perempuannya.
.
  “Ayah!” Perempuan itu menangis dan meronta, namun kedua tangan lelakinya itu lebih kuat menyumbat segala suara dan tubuhnya.
***
.
ar Bandung, 21112018

Sabtu, 24 November 2018

Kabut Fiksi Dalam Diri


Lelaki itu ingin berhenti  bernalar, menghempaskan seisi jasad ke ranjang. Namun tidak bisa. Kedua matanya terus saja dipaksa terjaga pemikirannya yang enggan berhenti, terus berputar mencari pangkal ujung segala masalah yang nyatanya tidak ada dalam pemikiran. Inilah kesetiaan. Dimana nalar terus saja bekerja, coba kalkulasi segala hukum sebab-akibat --seluas wawasan yang teraih- hingga tenaga terakhir tercurah demi menentramkan sang hati yang gelisah. Sebagaimana patih terhadap raja. Meski raja itu nyatanya begitu sering berubah-ubah inginnya, seperti arah angin. Sifat fana lamat-lamat terkecap manisnya di saat-saat seperti ini, di saat nalar tak menemu lagi titik temu pangkal untuk melapor kepada hati. Nalar tahu, tidur kerap menyegarkan ketajaman kemampuannya, namun ingin sang hati tidak ingin mengerti itu semua. Lucu! Sang raja yang memandang jauh keluar alam nalar terus saja memaksa patihnya yang tak akan bisa ikut serta melintas sekat alam logika itu. Hingga sedemi-demi karena tidak ingin membuat sang raja kecewa, nalar menurunkan ketajaman peran fungsinya untuk menganjurkan kepada tuannya itu sebuah jalan wisata naluri paling purba kepada sang raja. Sibuklah seisi kerajaan mengejar segala simbol kepuasan dalam berahi, hingga lupalah raja dengan sejarah kedengkian Azazil perihal jabatan, lupakan sejarah Sulaiman perihal rasa syukur dengan segala nikmat yang di berikan, lupa pula ia dengan sejarah keberserahan Yusuf kepada Sang Pencipta.
.
Ah iya, sejak awal tulisan ini pun mungkin lupa kepada Sang Pemberi segala kemampuan dan sifat yang tertulis dalam cerita ini. Para pembaca pasti kesal, karena ketidaksetiaan –meski sebatas- mengingat  kepada Penciptanya sendiri. Alangkah lucunya.
*
Ar, 24112018

Sabtu, 17 November 2018

Bocah Terbelah


Ampun, berbisik sendiri. Segerak-gerak memang telah berdaya, seperti merasakan keterbelahan dalam jiwa, dan setiap belah itu mengambil arahnya sendiri. Amboi, seketika arah seperti hidup sebagaimana seorang sahabat dalam mataku, dan jika memang bisa, ingin aku bertanya;
.
"Sesakit ini kah sang arah terbelah? Sebagiannya ke barat, sebagian nya ke timur, ada yang ke Utara, juga Selatan."
.
Namun pikirku sendiri menjawabnya, bahwa segala penghuni ruang telah di hidupkan ditengahnya, biarlah arah membelah, saling berpisah, agar terisi udara dan jarak untuk bernapas dan bergerak, sebagaimana hidup.
.
Namun hingga kapan berpisah? Kembali tergopoh-gopoh menelisik si entah nalar ini gumamkan. Sekarang nalar membisu, berganti imagi mengambil serta. "Barangkali itulah kiamat, katanya. Karena jika segala arah menyatu, segala yang bergerak ditengahnya akan merapat, berembuk, dan mungkin hancur lebur, seperti milyaran bintang, menuju satu titik blackhole.
.
Lalu segala bubur bintang itu kemana? Nalar kembali angkat bicara, imagi terdiam sejenak, rontok sudah napasnya meladeni nalar.
.
Arah dan gemintang yang terus terpisah entah kemana, bersatu pun entah kemana? Ah arah itu sendiri entah kemana.
.
Sudah diamlah kalian berdua, sebuah suara lain menguntit tiba-tiba. Semua itu akan terjawab jika bertanya langsung pemiliknya, katanya.
.
Ampun, ampun, kini ada suara lain terus meronta, acuh dengan gaduh saling suara itu.
.
Ampun, suaranya kembali merintih, seperti ingin hentikan semua pertanyaan yang saling menimpah, suara itu terasa begitu jauh dan dekat sekaligus . Tapi suara siapa?
.
Ampun, kini suara setiap huruf yang terbaca meratap serta. Sebagaimana bocah beringus bingung, hendak mengikut siapa. Ayah? Atau ibu?
.
Mengapa harus berpisah?, Ucap bocah itu bergejolak, namun mulutnya dipaksa bisu ketakutan.
.
Ar, Nop 2018

Merayu Semalam


Surya tertawan
Rembulan pucat pasi
Ada yang hilang
Menyelam sanubari
.
Lenyaplah kah sudah rindu kerinduan
Dua sahaya kehilangan
Permata hati Semangat berjuang
Gelombang rintangan
.
Langit mencekam penuhi kebisuan
Menyeka muka berair mata
Wajah pujaan bimbang gumamkan
Merengkuh impian
.
Senyum pujangga Kasih semesta
Merayu semalam
.
Ar, Nop2017

Senin, 05 November 2018

Sepagi Mikure


Telah gigil ia sendiri menelanjangi ujung langit. Mungkin masih saja teringat dengan kedua anaknya yang meninggal, karena seekor jantan telah dengan tega datang hanya untuk mencekik gigit urat leher dengan tiba-tiba. Selepas tidur, aku mendapatinya hanya duduk seperti itu, tatapan kosong, tiada binar.
.
Sebut saja namanya Mikure, seorang ibu beranak tiga, yang jika semua anaknya masih hidup, pasti sedang lucu-lucunya. Kehidupannya keras, dalam kekangan hukum rimba perkotaan. Dari wajahnya, semua bisa melihat, telah hancur hidungnya hingga bengkok karena kekasaran yang diterimanya.
.
Pagi ini, tidak seperti pagi sebelumnya, saat ia dengan tenang memberikan air asi bagi ketiga anak-anaknya. Tatapan kosong seorang ibu bersama gigil, menelanjangi langit yang temaram.
.
Hidupmu sungguh berat Mikure, yang harus sendiri menyepi melindungi anakmu yang tersisa, --kini tengah- terlelap di ketiakmu yang penuh bulu.
.
Aku hanya bisa ikut sedih dengan kedua anakmu yang meninggal, dan jika sempat, ikut mengusir kucing garong kemarin itu.
.
Ar, Nop 2018

Sabtu, 03 November 2018

Senyum Sepi Tak Terbahasa


.
Hujan, telah acuh meninggalkan ku sendiri. Berlalu tanpa menunggu untuk sekadar menengadah kepada Sang Penciptanya, sebagai saat-saat mustajabnya segala hajat, dari si fakir dan tak berdaya. Lalu hening ranting membasahi, menggetarkan dedaunan, dalam suatu isyarat paling sunyi; bahwa hujan baru saja datang dengan meriah.
.
Tanah merah mengembang, menyesapi air. Daun-daun kering sisa kemarau, telah merebahi tanah dengan sempurna, meniscaya alur takdir, untuk kembali menyatu dengannya. Dedaunan kering itu telah gugur bersama senyuman, karena menyaksikan pucuk-pucuk paling puncak menghijau. Tunas-tunas yang telah tumbuh dengan sempurna, --untuk mengambil perannya tetap eksis, hingga saat akhirnya semesta tiba.
.
Ada sepi yang terus berkata-kata. Ada senyum kian melanglang jiwa. Sebuah pesan yang tak berbahasa, bahwa semua tersaji penuh cinta, sempurna.
.
Ss Nop2018

Selasa, 29 Mei 2018

Menekuri Rasa


[Cerpens]
*
Hari, begitu cepat berlalu. Rona-rona senja kali ini tidak sedikitpun menghingapi kekaguman pada hati, hanya karena rasa emosi sejak malam yang tak terselesaikan, berlanjut hingga petang berlalu.
.
Emosi, mengapa harus emosi? Berkali-kali nalar telah kupaksa demi mengurai sesaknya perasaan kesal itu. Namun seakan api dalam, menghalau atau pun mengibas hanya kian menambah panas suasana. Inginnya meluap saja, bebas membakar segala, bahkan sesyahdu senja kali ini seakan merah api yang hanya kian menambah kesal. Apakah sebenarnya yang ia inginkan selain meluapkan kesal?
.
   Dingin, siapa sangka dijantung api itu ada ruang hampa yang begitu dingin? Karena api selalu melahap segala sesuatu yang lebih dingin darinya, menyerapnya demi memuaskan dahaga yang teramat panas. Bahkan terus melahap hingga raga memudar, musnah, setelah tidak kuasa melahap segala dingin titik nyala paling akhir. Api yang kecil, tentu temboloknya mudah padam. Lalu bagaimana jika api itu lebih besar dari segala kenyataan yang telah dilalui selama ini? Adakah yang sanggup melerainya? Kobaran api yang terus menyala bertahun-tahun sejak kecil hingga masa dewasa kini?
**
"Memeluknya, akan membuatmu mengeras seperti tembikar anakku," Moyang Langit akhirnya mengangkat suara dengan ketenangannya. Seraya terus melebarkan jubah serta memeluk segala material angkasa tidak membuatnya acuh terhadap sebogkah tanah bumi. Ia tetap memberi nasihat, sesempat ia mampu. "Tapi ketahuilah, ia akan selalu mencari celah untuk melepaskan hawa panasnya, maka jika saat itu tiba, ragamu akan hancur binasa, luluh lantak berkeping-keping," Kembali ia berkata, lalu mengambil jeda sejenak.
"Apakah kau siap?" Lalu kembali coba meneguhkan kesungguhan. Aku hanya dapat terdiam, tidak sanggup menjanjikan, selain menanti segala apa yang memang harus terjadi semestinya. Bersama semesta.
***
"Sederhana saja, aku ingin saling memeluk dan menyatu dengan saling, sebagaimana .." Terselip suatu sesal dari penuturannya kali ini. Namun Rembulan tetap diam saja mendengarnya, menunggu ungkapan utuh tanpa jeda. Seketika suasan begitu sepi, saling terdiam.
"Sebagaimana hawa panas api yang saling memeluk dengan dinginnya air, meski akhirnya sirna.. Namun mereka sirna karena terus memeluk, bukan menjauh,"  Lalu tiba-tiba gemercik air datang membayang. Menyapa bersama uapnya syahdu mengalun, menyisa embun pada ujung dedaunan, memburam menjadi kabut saat mentari mulai menyapa.
.
Bersama geming menyaksikan segala pergerakan angan, rupanya Rembulan terus berjalan menjauh, dengan senyap, tanpa maaf, berlalu.
.
Kini hanya dapat merasakan peluh-peluh dingin membasah kulit, bersama jilat-jilat panas dalam dada. Tapi hanya dapat termanggu, ikut bergulir bersama rantai masa, yang entah hingga kapan terus bersama.
.
"Dengarlah takbir bergema duhai pemeluk api, hari tidak selalu hitam dipergilirkan, malam selalu datang bersama penghujungnya, tidak sebagaimana siang saat semua diputuskan di Yaumul Mizan," Ia datang menggelitik dengan jari-jarinya yang hangat, memaksaku menghangat, melupakan segala beban dalam dan luarnya raga. Takbir telah bergema disetiap penjuru masa.
.
"Adakah engkau membela? Apa-apa yang menyesak dalam dada?" Ucapmu coba membuka mata, ternyata ia begitu terang, membuat segala hitam menjadi penuh warna.
.
"Bukan membela, hanya saja.. Aku tidak jauh berbeda dengan apa yang kau kandung dalam dada, hanya saja Aku berada diluar dirimu, sedang ia berada didalam dirimu. Aku tidak terikat olehmu, sedang ia terikat ragamu," Sementara merasakan senyumnya yang lembut dan hangat, aku hingga melupa segala gigil kabut dan embun yang perlahan meninggalkanku segera, mengejar panasnya.
****
"Jadi sebenarnya apa yang kau sadari Nak?" Sebuah suara bijak menyadarkanku lembut, pandangannya teduh, suaranya ramah. Kupandangi segala keadaan ternyata belumlah, dan langit masih memetakan peredaran bintang-bintang. Seraya terus bertanya,
"Jadi sebenarnya apa yang kau sadari Nak?"
.
Ar, 29052018

Sabtu, 26 Mei 2018

Mengejar Tawa


[Sebuah Cerpens]
*
Merasa jenuh hingga bosan, entah pun merasa bosan hingga jenuh, entah sejak kapan ikut masuk meriuh-rendah ke seisi ruang kepala. Membuat merasa penuh, tidak nyaman, sebagaimana seorang bocah yang berbuka melepas nafsunya dari kekangan.
.
"Tapi itulah berbuka puasa, ia berbuka terhadap apa yang ia puasai," Katanya ringan saja menetapkan hukum, demi melihat seorang bocah yang tidak kuat berdiri lagi saat sisuruh shalat magrib selepas berbuka puasa. Ia tertawa, namun anak itu menderita, sedang aku hanya mampu terdiam tak berdaya. Melawan sekian banyak penurut buta hanya akan mengantar nyawa, dan itu realita.
.
Maka aku beranjak, merasakan tidak nyaman dari holaqoh para jamaah penyembah. Eksklusif, bila boleh perasaan ini bicara. Sayang, perasaan kerap menipu. Tidak pernah bisa jadi acuan, karena perasaan bukan ukuran. "Universal harusnya," Dan kali ini giliran perasaan sendiri mengahakimi, biarlah. Soal hati sendiri entah siapa yang menggerakan bibirnya, entah pun seperti apa wujud bibir itu sendiri. Polos, tidak akan bisa menjangkau segala merah hitam dunia. Realitas.
**
Seperjalan pulang dari tajug wacana, teman-teman seperjuangan seperasaan menyapa.
.
Seakan tidak langsung memang kami seperti satu dalam ikatan emosional penderita. Merasakan bagaimana kesalnya dicampakan oleh orang-orang yang diharapkan cintanya. Seperti ayah misal, ibu, kekasih. Bebas saja, hendak kemana kau anggap siapa yang menjadi pelepas dahaga kasih itu. Hanyasaja kami sebenarnya tidak terikat dalam pencarian dalam satu tujuan; Tentang bagaimana mengenyahkan murung yang sebenarnya kami anggap sumber segala penyakit, serupa kesedihan. Hingga persaudaraan menjadi hambar, membuat bubar, saling menyelisihi dalam ego-ego setiap geng dan sekte perasaan itu sendiri. Ya, kami memang mencari tawa --bagaimana pun caranya- pun itu dengan candu, fantasi, atau membenturkan kepala demi sensasi gila.
.
Maka aku memilih sekedar menyapa saja, lalu pamit. Karena seketika perasaanku kembali bertahta. Ini tidak menyenangkan, bisiknya. Dan aku percaya.
***
Sebuah rumah akhirnya ku jejak terasnya. Sejak memasuki halamannya saja selembar selimut hangat dan cahaya perapian telah lebih dulu membayang.
.
Tapi segera kembali langkahku berbalik sejak pintunya ku buka, karena ternyata didalamnya hanya berisi duka nestapa.
.
Lihatlah! Bila kau ikut serta melangkah bersama memasukinya. Akan kita lihat tiang-tiang penyangga telah lapuk keropos, pijakan lantainya bergelombang serapuh lumpur payau, sedang dindingnya kusam terhiasi segala citra-citra bengis dan angkara. Kau pun pasti tidak ingin memasuki, kau pun pasti ingin segera keluar, karena bisa saja rumah itu akan rubuh meski dengan sapuan sinngkat angin-angin senja.
.
Tidak! Aku pasti akan menganggapmu gila, bila justru kau ingin memperbaikinya dari dalam. Dan tawa-tawa yang kucari bukan untuk melihatmu gila, atau binasa.
***
Akhirnya kita mendapati tempat yang benar-benar kita harapkan, dengan tawa-tawa renyah begitu menyenangkan. Menikmati lapangnya tiup-tiupan angin kelegaan, di bawang naungan cahaya kebahagiaan.
.
Namun sayang, perasaan itu bukan ukuran yang membuat kita lapang dalam suatu keyakinan.
.
"Tapi setidaknya kita dapat berkawan, karena itu niscaya dalam setiap perjalanan," Kau pasti akan berkata-kata seperti itu akhirnya. Baiklah, aku setuju. Maka kita harus coba baca kembali cerita ini dari awal. Dengan cara baru, dengan tanpa membubuhkan kata-kata perasaan --yang tidak pernah jadi ukuran- itu.
.
Ar, 26052018

Senin, 21 Mei 2018

Panas Dingin Aktivis Jajanan

Cerpen:
.
Alih-alih mempersiapkan amalan ekstra di bulan Ramadhan, Udin justru berpikir beramal yang tidak biasa. Idenya itu telah ia ceritakan hampir seratus kali sejak penghujung bulan Sa'ban, berarti dalam sehari ia bercerita dengan kata-kata yang sama dalam tiga hingga empat kali tanpa sedikitpun aku minta menjelaskannya. Sebagai sesama aktivis Pe-ka-el, aku hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Berharap ia segera menyelesaikan ceritanya, sebelum telingaku mati kebosanan.
.
Udin Es-Buah, begitu para aktivis pe-ka-el lain menyebutnya. Memang terbilang seorang pribadi yang energik, mempunyai bakat orasi jalanan yang kuat. Dengan cuaca terik maupun hujan terus saja berteriak-teriak merayu calon konsumennya, hingga banyak para pejalan berhenti lalu -seperti terpaksa- membeli es buah dagangannya -padahal musim penghujan selalu membayang- Sejak itulah, dengan bakat oratornya ia mendapat julukan terkenal sebagai Udin Es-Buah. Dagangannya selalu laris, meski penghujan selalu mengiris. Tapi anehnya, setiap kali Udin ditanya bagaimana perkembangan usahanya pekaelnya itu, ia pasti menjawab dengan cepat, "Sedang dingin,".
.
Suatu siang, sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Udin tidak energik seperti biasanya.Ditengah tumpah ruah keluhan para aktivis pekael penjaja jajanan yang tidak bisa berdagang siang-siang, kali ini hanya mendengarkan dalam diam. Otaknya seperti diperas begitu rupa -terlihat dari garukan kasar tangannya dikepala-, hingga yang melihatnya tertawa. Ia tetap bergeming, larut dalam pemikirannya sendiri. Sebagai Udin Es Buah, kali ini benar-benar dingin tiada kentara.
.
"Aku punya ide revolusioner untuk perubahan besar kehidupan kita mengais rejeki di jalanan!" Katanya tiba-tiba. Sontak para aktivis pekael lainnya memnadangnya kaget, karena ia berteriak seketika. Para pengeluh terperangah, yang sedang menjamu para spg yang kelaparan hampir menyiram konsumennya dengan bumbu kuah. Aku sendiri hampir saja menyampur aneka buah dengan sampah, kaget, bercampur kesal dan penasaran dengan teriakannya yang tiba-tiba.
.
"Ada ide apa lu Din?" Penjaja bola baso yang hampir menyiram kuah ke buah dada spg yang kelaparan segera menyergah, ia terlihat paling marah rupanya.
.
"Kita selama Ramadhan tetap dapat jualan seerti biasa tanpa takut terciduk aparat pemerintah," Udin cengengesan memandang enteng saja menuai pandang amarah dari sang Aktivis kuah Baso itu.
.
"Caranya Din?" Aku jadi semangat mendengarnya, moga saja idenya benar-benar brilian.
.
"Kita jualan di lingkungan instansi setiap musolah, dengan promo batal puasa gratis!" udin makin bersemangat.
.
"Wah, bisa rugi kita, dan tak mungkin baso kuah saya harus berubah rasa jadi manis, enggak mungkin Din! Nggak mungkin!" Aktivis Kuah Baso kembali menyergah, malah sekarang ia jadi menumpahkan kuah campur cabe ke dada SPG didepannya, membuat perempuan slemohai itu menggeliat, merasakan panas-panas membara dalam dadanya.
.
"Kita kasih gratis buat batalinnya aja, tapi tidak buat kenyang, HAHAHA!! " Katanya tersenyum bangga, tanpa melepaskan pandanganya dari dada SPG yang menggoda -yang ternoda merah cabe yang kian panas membara- sejak mula ia tertawa.
.
Ar, 21052018

Senin, 14 Mei 2018

Cerpen: Yang Merajuk Dipelukan Malam

Melihatmu yang terpaku di ujung samudra, membuat kedua kaki ini seakan menunggu. Saat-saat sesepi ini memang membuat matamu memperlihatkan aku, yang terus menunggu. Hingga lelah telah memuncak dan tidak dapat lagi kau tahan.
Namun kedua bibirmu itu kini terbuka. Lalu berkata, "Ayo kita pulang !".
.
Senja telah lama berlalu, entah berapa kali bergulunggulung ombak disapu angin dikedua bola matamu. Dalam remangnya temaram bulan, masih dapat terlihat gemerlap mata itu yang masih menatap tajam ke ujung langit. Tapi aku masih membisu, menunggu ia membuka suara. Aku tak ingin mengganggu perenungannya, meski sangat ingin sejenak bertanya, "Apa yang sepi berikan untukmu? Hingga kau biarkan aku tetap menemanimu? Apakah hanya demi kesenanganmu itu? Atau justru deritamu?,"
.
"Dengarlah sekisah lalu yang terus saja mengusik pikiranku, Bahwa siang pernah mengabarkan padaku, perihal sengketa sepasang kekasih yang saling bicara namun tidak juga menemukan titik temu,"
.
Kali ini kulihat kedua matamu mengendur, memandang lembut dan lekat. Namun sayang, aku tak memiliki sepasang mata untuk membalas tatap indahmu itu. Bersama hela napas panjang, kau kembali membuang muka ke ujung pandangan mata.
.
"Siang yang penuh kabut pernah berkata padaku, tentang dua manusia manusia yang berdebat akan hakhak para kekasihkekasihnya. Mereka terus berdebat hingga pagi tanpa menemukan titik temu, hingga akhirnya berpisah dengan beroleh dengki dan amarah. Hingga saling caci, hingga saling dengki, padahal masingmasng pihak sebenarnya telah memendang rasa cinta yang begitu kuat,"
.
"Benarkah? Bagaimana bisa? Sepasang kekasih yang saling mencinta memutuskan berpisah?"
.
"Karena mereka mendengarkan katakata cinta dengan telinga kekanakan, dan berbicara dengan egosentris kekanakan juga,"
.
Aku tidak mengerti ceritamu itu, sungguh.
.
"Mereka menanggung urusan orangorang dewasa terlalu belia,"
Bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Nadamu itu terdengar menyalahkan mereka. Bukankah segala yang terjadi selalu maksud pelajaran yang telah dietapkan untuk mereka?
.
"Ya, memang. Umur mereka telah matang. Tapi mereka berkatakata begitu kekanankan,"
.
Misalnya?
.
"Saat salah seorang bertanya dan berbahasa dengan bahasa perasaan, maka salah seorang lainnya menjawab dengan bahasa logika. Dan saat saat logika menuntut jawab, justru mendapati sebuah bahasa perasaan,"
.
Lalu apa masalahnya? Bukankah perbedaan kecenderungan itu yang membuat mereka saling melengkapi?
.
"Kau benar, tapi kabutkabut superioritas dari keduanya membuat dua kecenderungan itu berbenturan, Mereka saling mencintai tanpa kesatuan arah tujuan,"
.
Hahaha! Kesatuan arah ?! Sejak kapan dua kecenderungan yang berbeda menyatu dalam satu arah tujuan?
.
"Tentu saja ada,"
.
Sejak kapan? Pun mereka saling mencintai, rasanya mustahil..
"Sejak keduanya diciptakan dan ditetapkan ikatanikatan termasuk ikatan cinta. Bukankah.. setiap apa yang diciptakan itu selalu terikat apaapa yang menjadi garis ketetapan dari Penciptanya?
.
Lalu, apa hubungannya semua cerita itu dengan kita di tempat sunyi ini?
.
"Aku ingin mengajakmu, mencari aturan dan pedoman sunyisunyiku ini,"
.
Untuk apa?
.
"Untukku selamat dalam menyesapinya, agar siang tidak lagi terampas waktunya, juga agar aku dapat tertidur sebagaimana mestinya,"
.
Oh maaf, itu tidak mungkin,
.
"Kenapa?"
.
Karena kau telah mencintaiku, dan tidak ingin berpisah denganku, hingga wajar bila siang tak lagi penting bagimu.. meski disiang itu saatsaatmu paling mendesak untuk mencari penghidupan.
.
"Bagaimana bisa kau mengatakan itu? Dengar! Aku masih mencintainya, dan membutuhkan kehadirannya,"
.
Hahaha! Kau sendiri tahu, siang tidak pernah berubah terhadap sesiapa yang bergerak dalam pelukannya,
Dia tidak berubah, lalu mengapa kau berubah?
Sebagaimana yang kau ingat, bahwa siang tetap cerah bersinar untukmu dalam mencari penghidupan, hanya saja kau terlalu lelah untuk melihat segala kenyataan, lalu berpaling darinya,
.
"...,"
.
Kau pikir telah mendapati kenyataan terlalu dini, kau hidup namun dengan jiwa kekanakan, kau hanya ingin terus berbicara padaku yang sepi, namun enggan mau mendengar tuntutantuntutan siang yang yang harus dipertanggungjawabkan,
Kau hanya,
.
"Kenapa denganku?"
.
Kau hanya harus menerima kenyataan, dengarlah kini suara ayam jantan berkokok, dan itu tandanya aku harus pergi. Maka berbuat adil lah terhadap siangmu, meski kau tidak mungkin dapat berbuat adil
.
"..."
.
Selamat tinggal, aku pamit

Ar, 14052018

Sabtu, 17 Februari 2018

Aku Mengakui Pengakuan

Kita pernah tersenyum, di tengah rinai hujan yang menjadi senarai nada melodi hati. Seakan, semua perasaan itu begitu haru, sekaligus memburu untuk berseru, suatu nama, yaitu aku. Inilah aku yang berbahagia denganmu.
.
   Karena memang menariknya. Jiwa eksistensi si aku itu, begitu membutuhkan --untuk menggenapi- mu. Dan kuyakini, begitu pula denganmu. Aku --kita- saat itu terasa begitu menyatu, seakan dunia ini untuk kita berdua, "yang lainnya biarkan menumpang," Katamu tertawa. Semakin membuat aku itu kian berbunga.
.
   Hingga waktu terus berlalu, menguji, menjelaskan pada kita, pada aku sebagaimana anggapan kita, bahwa aku itu ternyata bukan aku kita berdua, aku itu bukanlah milik kita berdua atau diri kita sendiri. Hingga kita tersadar, siapakah yang paling layak berkata sebagai aku? Diakui, yang hadir, eksis tanpa pernah bisa disanggah, saat senyap maupun riuhnya pengakuan. Yang berdiri sendiri tiada membutuhkan yang lain.
.
   Nyatalah kita takkan menjadi aku --yang menguasai segala- pun itu sebatas imagi juga mimpi, karena kita sebenarnya ada, untuk menggenapi pengakuan keberadaanNya, yang berlaku atas segala kita yang memang fana.
.
   "Lihatlah, anak kita termenung mendengar lagu berjudul faded dari Alone Walker bergaya urban gembel," katamu risau.
.
   "Dan memang, mencari dan terus mencari seperti telah menjadi ciri, bahwa kita tidak bisa sendiri, tidak mungkin sendiri, menjalani hidup seorang diri. Karena kita, bukan aku, " Mencoba berkata bijak, meski kau rasakan pula kerisauanku. Hingga kita berseru,
"Anak-anak juga bukan milik kita,"
.
Ar, 17 feb 2018

Sabtu, 27 Januari 2018

Depresi (The deep ekspresi) .


Seorang ayah, berkeledai tua, menjadi menyusuri hutan nan rimba Arya kota, mengantar beban amanah, dengan ringkih, hingga fasih, dengan segala hajat yang tidak bisa ia dapat, karena seorang kurir, memanglah hanya sebagai kuli kiriman, bukan perampok hartawan.
.
Segunung beban ia bawa, namun bahagia. Karena semakin banyak mengantar barang hajatan, semakin banyak upah dihasilkan. Entah pun cukup dengan hajat dalam ingatan, tak mengapa, karena mengemis, itu bukan jalan perjuangan, itu bukan awalan kebaikan, itu hanya dimaklumi dalam rawan ketiadaan, kosongnya dalam upaya perjuangan.
.
"Tapi bukan itu dalam ingatan bapak, Nak ..." katanya tersenyum lembut.
"Menjadi kurir, selalu mengingatkan beratnya kesalahan yang harus di temukan alamat untuk meluruskannya, jika satu paket kiriman adalah sebuah dosa pada satu orang, maka.. semakin banyak menyambangi alamat seorang pemiliknya, semakin ringan beban yang ia bawa pulang, dan akhirny semakin banyak pula ganjaran dari setiap penyelesaian kesalahan. Bukankah setiap manusia itu pendosa? lalu, bagaimana menjadi pendosa terbaik?"
.
"Adakah pendosa terbaik? memakan orang, membunuh, memerkosa, memakan daging sodaranya sendiri, ... ?"
.
"Hakikatnya dosa memang bukan pada manusia, karena dosa membunuh misalnya, itu sebenarnya berdosa pada Pemilik jiwanya.. dan ada pendosa terbaik, dimana ia mau meluruskan kesalahannya.. Karena banyak pula yang tidak ingin menghapus kesalahannya, hingga semakin sesak, semakin berat menanggung beban, hingga tertindih sendiri dengan bebannya dijalan, di tempat tak bertuan, tanpa kawan, tanpa pertolongan -selain angan dan pikirannya sendiri-sendiri," Katanya seperti berbicara seorang diri. Lalu tidak lama, ia menoleh, melanjutkan lagi,
"Nak, tidak ada manusia yang tidak berdosa, tanpa beban.. hanya saja, ada yang menjawab setiap kesalahan dengan jawaban semestinya, dengan alamat seharusnya, ada juga yang enggan jadi seorang amanah, yang tidak ingin menyelesaikan setiap dosa dengan kebaikan yang telah digariskan."
.
(Catatan saat masih bekerja sebagai kurir wahana ~ ar, 27 Jan 2018)

Senin, 22 Januari 2018

Menulis Sepi


Ingin kutulisi
Senja di lembayungnya
Senyum-senyum pengusir sepi
Ufuk barat di paling ujung cahaya
.
Ingin kutulisi senja
Dengan cakrawala yang menahan
Segala tanya membahana
Bersama jingga pada sang buana
.
Pada renda-renda benang siluet itu
Kita pernah bisu melulu
Menyesap lembut kepakkepak syahdu
Mengingat pertemuan waktu
.
Selepas siang menuju malam
Adakah senyum kubawa lari?
Dalam lembutnya langit yang temaram
Tatapi tatapmu, duhai sepi
.
Ar, 22jan2018

Selasa, 16 Januari 2018

~Kabut Fiksi~: Anak-anak Senja

~Kabut Fiksi~: Anak-anak Senja: Tanah merah areal pemakaman terlihat begitu lembut. Setelah semalam, gerimis mengairinya dengan lirih, tanpa gaduh petir, juga angin kenca...

~Kabut Fiksi~: The Agent

~Kabut Fiksi~: The Agent: Sejak menyentuh kulitnya tiga hari lalu, ia memang sudah begitu keriput. Dengan berjalan terhuyung, bongkok. .  Kata para leluhur yang ki...



http://kabutfiksi.blogspot.com/p/the-agent.html