[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Selasa, 28 Maret 2017

SENYAMAN RAHIMNYA

 Sayang, kurasakan kini lautan angkasa betabur cahaya, menghangat hingga kejiwa, demi untuk terus tersenyum akan segala nikmat-Nya yang tiada terkira.

Wajahmu selalu terbayang, bagaimana kau kini tengah menyusuri jalur-jalur pijakan manusia untuk menjalani jodoh takdirnya sendiri. Juga janin di perutku kini, aku hanya dapat membelainya meski tersekat kulit-kulit yang begitu canggihnya melentur dan melindungi apa-apa yang ada didalamnya.

 Sayang, mungkin kini kau pun begitu ceria menikmati deburan cahaya mentari, semoga. Sambil terus berusaha menekan sifat jumawa yang kau lukiskan begitu berbahaya, hingga akhirnya ditemukan dengan sifat mensahaja yang melukis senyum teduh kita semua.

Sayang, tulang bokongku kini terasa makin pegal saja. Seiring badanku yang makin membesar, sekarang janin didalamnya aktif sekali bergerak-gerak. Kau tahu? Setiap kali jabang bayi didalam rahimku ini bergerak-gerak, sekan menjadi satu keasyikan tersendiri, serasa hidup begitu manis dan tidak sesepi saat kita terpisah karena suatu urusan yang memang mesti memisahkan kita. Sungguh, katamu saat itu benar-benar terasa begitu nyata; bagaimana istimewanya hubungan jabang bayi didalam rahim dengan ibunya, seakan jiwa kami memang berpadu dalam satu kesatuan merasakan segala kenyataan yang dilalui ditiap harinya.

 “Ajaib!” Sebagaimana yang kau bilang tempo hari. Ini tanda kebesaran dari Sang Pencipta bagaimana Ia menghidupkan seonggok daging hingga kemudian menjadi manusia yang nyata. Dan ajaibnya, janin didalam perutku ini seakan mengerti bagaimana rupa rasa yang tengah kualami disetiap harinya. Kau tahu? Tadi aku terpeleset dijamban hingga terduduk, rasanya sakit sekali.

 Maaf sayang, memang sengaja ku tidak memberi tahu langsung disaat kejadian. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu, dan saat itu aku selalu ingat bagaimana perkataanmu; bahwa segala sesuatu telah Ia tetapkan, telah Ia putuskan, dan keyakinan perlahan tumbuh sejak kejadian tadi. Jika memang kita sanggup dengan titipannya; kita benar-benar akan diditipi amanahNya, termasuk seorang buah hati untuk kita.

Hanya saja, para tetangga begitu panic menyaksikanku terjatuh hingga terduduk dijamban, kebetulan air dijamban kamar kita kering, dan terpaksa ku ikut mengantri disumur umum dekat Pak Haji pemilik kontrakan kita.

Macam-macam bagaimana para tetangga berkata-kata dengan kejadian tadi. Ada yang makin membuatku panik, ada yang membuatku tenang, ada yang menyarankan ini-itu. Macam-macam saja, hingga akhirnya mereka mempertanyakan keberadaanmu. "Kok tega sih? Istrinya sedang hamil besar begini, malah ditinggal-tinggal. Bahkan hingga berhari-hari?!".

"Lalu bagaimana lagi bu, wong udah jalan rezky begitu" Jawabku merangkum pertanyaan ibu-ibu yang berbicara begitu cepat, tidak lupa ku campur seulas senyum agar suasana tetap teduh.

"Kalo wiraswasta kan bisa kerja semau kita ?" Ibu ahmad, istri Pak Haji kali ini angkat bicara. Tapi sayang, kali ini aku tak bisa membelamu lagi, meski sebatas pandangan ibu-ibu tetangga terhadapmu, maaf.

 Sayang, sebagai istri aku merasa gagal melindungi nama baikmu diluar. Masih dapat kuingat bagaimana analogimu tentang peran seorang istri terhadap suaminya; yakni bagai pakaian yang melindungimu dari panas dan dingin, dan yang terpenting adalah menutup aurat. Tapi, bedebat dengan mereka pun belum tentu membawa kebaikan. Untuk itulah hanya dapat terdiam saja mendengarkan pendapat mereka, menunggu mereka terdiam dan berlalu sepenuhnya.

 Namun aku sedapat mungkin ingin terus memeluk sebongkah pesanmu akan doa, akan langit yang sama disetiap masa. Langit yang Ia tinggikan tanpa tiang, langit yang menghancurkan semboyan jumawa dalam tabir pencitraan karisma, maupun hunistik yang semua. Hingga akhirnya kita bertemu dimuara; segala puja dan puji hanya layak bagi-Nya, Rabb semesta alam.

 Sayang, janin kita bergerak gerak begitu girang didalam sini, saat terbayang bagaimana wajahmu selalu mengingatkan akan sifat Rahim-Nya. Terima kasih.

#Tsabita, doa seorang ibu

Minggu, 26 Maret 2017

Sehalus Angin Senja

Sayang, angin senja semilir datang tanpa bicara. Seketika saja ia masuk ke pintu petak kontraan kita yang sederhana, mengingatkan kembali pada sebentuk wajahmu yang sederhana, yang ku lihat berbahagia saat ku sebut ayah bersamaan dengan kukabarkan janin yang hidup dalam perutku ini. Sungguh angin ini begitu meneduhkan suasana kontrakan kita yang sebelumnya membuatku gerah.

 Sayang, dalam setiap gelak tawa kita, dalam setiap kemanisan cumbu rayumu padaku. Kau masih saja berusaha menutupi gejolak jiwa yang masih samar kukenali, kau tahu? Sebenarnya aku merasakan cemburu yang tidak berdasar pada apa yang selalu kau tutupi itu.

 Sayang, bagaimana ku mempertanyakan semua itu, rahasia yang kau kubur didasar palung hati terdalam. Maaf, bila lancang. Sebagai istri, aku merasa berhak untuk mengetahui segala apa yang kau simpan itu, apappun itu. Rasa ini bagai cemburu yang menghantui para kekasih terhadap yang dikasihinya, meski kau kulihat tersita banyak kesibukan di tiap harimu, tetap saja, selalu terpikir apa yang kau kubur seperti terpaksa jauh dipalung hatimu itu. Entahlah, apa ini sebatas keanehan biasa saat ngidamnya ibu hamil?

 Sayang, tahukah kau? Jika kerap kutakutkan jika berpisah denganmu? Hingga apa yang kupikirkan ini kerap terbawa hingga kedalam mimpi. Memkirnya bagai mengais kerikil di air keruh, hingga kerap ku bermimpi yang kurasa sunguh aneh.

 Sayang, tahukah kau? Suatu malam, saat kau berada diluar kota untuk urusan bisnismu itu, aku bermimpi sesuatu yang sungguh aneh, namun terasa begitu nyata. Bahkan hinga terbangun dengan nafas begitu sesak.

 Di mimpi itu kita terpisah, yang saat itu kurasa seperti disuatu kaki gunung yang tinggi. Saking tingginya hingg dapat kulihat permukaan kota seakan melengkus, tidak datar seperti saat kita memandang kota di puncak tower perkantoran saat setahun yang lalu, saat kau masih bekerja di perkantoran tersebut. Saking tingginya seakan kupandangi kota itu dikentigiian setinggi awan yang tertahan atmosfir. Sedang langitnya berwarna kelabu, kelabu yang tidak pernah kujumpai sepanjang hidup.

 Sementara aku terpana memandangi kota dikaki gunung yang begitu tinggi, tiba-tiba dari arah timur kulihat gelombang air yang begitu tinggi, airnya keruh, sangat gaduh menerpa kota yang sebelumnya hening. Aku seketika berlari menuju puncak gunung dan teriak sekeras-kerasnya, namun tiada seorangpun kulihat, sedangkan air makin kuat bergemuruh, semakin mendekat.

 Saat begitu panic itulah, seketika ada bus yang entah dari mana datangnya datang menghampiri dari samping kanan. Seketika seorang tua berpakaian serba putih membuka pintu dari dalam dan menyuruhku segera masuk. Yang ternyata telah banyak orang didalamnya, namun tidak satupun ku kenal.

 Sesaat saja saat sudah memasuki bus, seketika bus yang kutampangi begetar seakan ditabrak oleh sesuatu yang sangat keras. Kulihat air telah begerak kekaki gunung tempat kami berada, bahkan hingga bus kami tenggelam. Namun ajaib, tidak ada air yang masuk kedalamnya, bahkan bus tetap berjalan seakan berjalan diatas jalan raya yang kering.

 Dalam panic, aku hanya terdiam. Tercekat kataku untuk sekedar menanyakan apa sebenarnya yang terjadi. Dan semua orang yang menaiki bus memang tidak ada satupun yang berkata-kata. Semua diam hanya memandangi seisi kota yang porak-poranda terhantam gelombang air yang begitu tinggi.

 Sayang, setelah menyaksikan kehancuran kota yang begitu mengerikan itulah, jasadku terbangun, dan terjaga hingga adzan shubuh terdengar. Barulah aku mulai dapat sedikit tenang saat hingga kuambir air wudhu dan shalat dua rakaat. Dan baru kuingat pula, betapa beruntung, bahwa itu sebatas mimipi, dan menyadari masih ada waktu untuk bersujud kepada Sang Pencipta.

 Bila saja tidak pernah ku dengar penjelasanmu akan mimpi beserta anjuran rasul agar merahasiakan mimpi yang menurut kita buruk; ingin ku tanyakan mimpi aneh itu. Namun anehnya, saat kita bersama, selalu saja ku terlupa akan segala kecemansanku ini. Seakan, hadirmu membuat lari satu sisi hitam pikiranku dari sebagian pikiran yang lain.

Lalu, bagaimana akan arti hadirku kini untukmu suamiku?

#Tsabita, doa seorang ibu

Menikmati Perubahan

 Sayang hari ini sungguh terasa indahnya, sejak kemunculan janin dalam rahimku ini,seakan semuanya memang berubah. Terutama dengan apa yang dirasakan sendiri olehku, mungkin kau pun menyadari. Hanya saja, kau selalu berhati-hati, lebih memilih diam untuk sesuatu yang belum jelas.

 Sayang, kau mungkin merasakannya bagaimana perasaanku. Akhir-akhir ini kepekaan hatiku terasa terlalu sensitive, lalu kau hanya terdiam, membuat egoku serasa tidak terbalas, padahal sangat ingin kau balas. Aneh, aku sendiri merasakannya. Tapi entah kenapa, emosiku akhir-akhir ini serasa diluar kendali.

 “Nggak pa-pa Mah, ngidam itu biasa untuk ibu hamil “ Katamu hanya tersenyum, setiap kali kucoba mempertanyakan akan suasana hatiku yang kerap berubah tidak menentu.

 “Tapi sungguh nggak nyaman dengan semua ini Pah,” Aku menimpali seketika, kau terdiam.

 ”Bila boleh jujur Pah, ini aku sangat nggak suka dengan bau tubuhmu sehabis mandi dan bau nasi, maaf.

 “Kata ibu-ibu sekitar, perempuan ngidam memang begitu. Aneh-aneh,” Aku meneruskan, ada rasa bersalah seketika, melihatmu kini terlihat sedikit murung.

 “Lalu menurutmu sendiri, bagaimana dengan perempuan ngidam tadi?” Kau berkata tenang, menatapku perlahan. Aku hanya menggeleng, tidak tahu harus menjawab bagaimana dengan pertanyaannya.

 “Jadi begini Mah, menurut data yang Papah ketahui. Ngidam itu suatu keadaan psikologis ibu hamil karena adanya perubahan hormon besar-besaran didalam tubuh ibu hamil. Kau pun kadang uring-uringan saat datang bulan kan?” Kamu tertawa kecil, lalu cepat meneruskan. Aku hanya dapat mengangguk, tanda setuju dengan argumennya.

 “Ibu hamil yang tengah ngidam emang kerap aneh, bahkan temen bisnis papah ada yang ngeluh; saat istrinya minta ayam kalkun bakar di tengah malam, permintaan yang menurut temen papah tadi mustahil karena tidak ada yang jual ayam kalkun bakar dikampungnya. Bahkan ada yang lebih ekstrim anehnya, lebih mustahil.permintaanya” Kamu masih tertawa, kulihat kau berusaha menahannya. Jadinya terlihat menyeringai, seperti mengejek.

 “Jadi salah ya? Jika ibu hamil ngidam?” Entah bagaimana suaraku seketika meninggi, sewot. Kulihat kaupun sedikit tercengang, kaget.

 “Oh nggak mah, nggak salah. Papah hanya ingin menjelaskan secara ilmiah; kenapa ibu hamil aneh-aneh jika sedang ngidam, tapi itu tidak lama, hanya beberapa minggu hingga bulan saja” Kau menjelaskan kembali, seperti khawatir membuatku merasa tersudut. Aku memang merasa tersudut, sungguh.

 “lalu gimana dong? Aku nggak mau ntar minta aneh-aneh..” Aku bingung, ntah mengapa seketika ingin merengek. Sedang kau masih saja menahan tawa, samar senyum itu jelas-jelas seperti menyeringai para penjahat.

 “Kenapa? Takut ntar memberatkan Papah ya? Meski Papah bau, tapi sebenernya Mamah terlalu sayang dengan Papah kan?!” Katamu kegirangan, mendelik nakal.

 “Ih, gampang geer nih Papah !” Aku merenggut, langsung berbalik. Namun kau menepukku pelan, kau kembali mengajakku berbicara.

 “Kenapa nggak didik saja dulu psikologis mamah saat ini? Atau, jika memang benar itu factor bawaan janin seperti yang dikatakan ibu-ibu tetangga; kenapa nggak kita mulai saja mendidik janin kita sejak sekarang?” Kau tersenyum bebas kini, aku sendiri merasa menemukan titik cerah meski belum mengerti sepenuhnya.

 “Mah, saat kita berpuasa itu berat nggak mesti menahan haus dan lapar?” Katamu meneruskan, aku hanya dapat terdiam, kau nampak lebih serius. Karena menggeleng kau lanjutkan berkata, aku mendengar saja.

 “Lalu bagaimana dengan anak-anak yang pertama kali belajar shaum dibulan ramadhan? Bukankah kita pun saat itu uring-uringan nggak menentu? Lalu orang tua kita akan mengajak kita jalanjalan santai atau apa saja demi membuat kita terlupa dengan haus dan dahaga kita saat itu. Hingga tak terasa Adzan magrib berkumandang, dan akhirnya kita bisa menunaikan puasa seharian penuh meski penuh keluh dan kesah ..” Matamu membesar. Aku merasa makin tersudut, merenggut. Seketika kau terasa begitu memuakan, aku bergegas kea rah dapur mencari sebentuk pekerjaan untuk mengalihkan kekesalan.

 “Ih mama kok makin ngelipet gitu mukanya..” Kau kembali tertawa.

 “Ternyata berat bagaimana masa ngidam itu..” Seketika teringat ibuku sendiri, mengabaikan kelakar yang terdengar. Kini kau terdiam, menyadari tatapunku tidak sedang berada dihadapanmu.

 “Itulah bagaimana tangguhnya seorang ibu, hingga syurga ada ditelapak kakinya. Jejaknya takkan pernah terbalas oleh anak-anaknya, dan sungguh kita lihat bagaimana bnaik-buruknya suatu lingkungan ditengah masyarakat sangat terpengaruh para wanitanya, ibu-ibunya” Kau serius, matamu menajam, kembali memperhatikanku. Meski baumu tetap memuakan ku hirup, secara mental rasanya kini lebih siap, sangat kuat.

 “Sayangku, berbahagialah. Kalian para manusia mulia, yang begitu lembut menjaga amanah dari Sang Pencipta, hingga menyimpannya didalam tubuhnya sendiri, tepatnya rahimnya sendiri. Ibaratnya kalian berpuasa selama Sembilan bulan penuh yang tidak bisa berbuka sebagaimana berpuasanya laki-laki” Katamu lirih, namun membara, penuh semangat.

 “Bagaimana bisa begitu?” Aku heran, argumennya kembali aneh di penalaranku.

 “Iyalah Mah, kalo yang puasa bisa membatalkan puasanya kapan saja. Sedang ibu hamil itu nggak sebelum melahirkan.” Kau sejenak menarik napas panjang.

 “Apa pernah kita lihat? Ada seorang ibu menaruh sementara janin diperutnya karena hendak nyuci seabreg pakaian misalnya?” Kau tertawa, sedang kau hanya tersenyum saja membayangkannya. ‘Emangnya ransel? Bisa di taruh-taruh sekehendak hati?’.

 “Hahaha, ada ada aj ih. Konyol!” Aku menepuk pundakmu seketika, tapi segera ingin menjauh kembali. Bau tubuhmu kembali menyengat. Tapi kau hanya tertawa kecil melihatku.

 “Yang paling lucu itu katanya saat perut ibu hamil sudah sebegitu membesar Mah. Mereka tidak dapat tertidur tengkurap dan berbalik-balik, karena beratnya berbadan dua. Mirip kura kura yang terjatuh terlentang hingga sulit kembali merayap. Haha..!”

#Tsabita, doa seorang ibu

Terus Meminta

   Sayang, malam ini kau terlelap begitu pulas. Wajahmu terlihat seperti anak kecil yang tertidur karena kelelahan sehabis bermain.

   Kuperhatikan lagi wajahmu begitu tenangnya, begitu polos dan bersahaja.

    "Lho, nggak tidur ma?" Ia terbangun seketika, masih berbaring membuka mata sedikit, memicingkan saja.

   "Ma? Haha.." Aku tertawa seketika, kau sebut aku mama. Padahal belum ada benihmu yang terlahir dirahimku ini.

   "Nggak pa-apa ma. Semoga ini menjadi doa" Kau ikut tertawa sebentar, lalu meninggalkanku ke jamban.

   "Tunggu, apa kau benar ingin menjadi ayah?" Aku menimpali, seketika kau terdiam. Pandangmu kembali serius.

"Tentu saja.." Wajahmu heran, memeriksa dengan seksama.

"Baiklah, kau kini seorang ayah" Aku acak-acak rambutmu dengan gemas.

"Benarkah?!" Matamu membesar, seakan tidak percaya.

"Ya, insyaalloh.." Aku hanya dapat tersenyum mendapati ekspresinya seperti itu.

"Emang udah di cek ya mah?" Matamu makin membesar, kini kedua tanganmu mengepal kedua tanganku, agak kuat.

"Udah, he.." Aku hanya dapat tersenyum geli memerhatikan wajahmu.

"Hasilnya positif ya mah?" Kau memburu tidak sabar. aku mengangguk, tetiba perasaan bahagia menyergap. Dan kau kini terlihat sama.

"Alhamdulillah," Kau seketika menyungkur ke arah kiblat, sujud penuh syukur.

"Kita beneran jadi orang tua mah?" Sekali lagi kau berbalik, menatapku begitu dekat, hanya dapat tersenyum saja aku dibuatnya.

Seketika kau berlari ke jamban, mengambil air wudhu untuk mendirikan qiyamullail. Lalu dengan tersenyum kau menarikku untuk bangkit, mengantarkanku ke jamban. Dengan wajah penuh bahagia mengajakku untuk segera bersujud syukur.

#Tsabita, doa seorang ibu

Selasa, 21 Maret 2017

Buah Hati Yang Dinanti



Sayang, sungguh diri ini betapa senangnya mendapati kau pulang, dengan tidak kurang sesuatu apapun.

Di sore hari ini, kau datang terlihat begitu tampan dan menarik. Entah karena ajaibnya bias cahaya senja yang mulai merona, entah karena saking kesalnya aku; karena rindu sudah begitu kuatnya.

Dengan sapa mesra seperti biasanya, kau tersenyum saat pertama kali mengetuk pintu bernaung kita. Maaf, aku tidak kuasa menahan diri, segera saja memeluk tubuhmu yang belum kering terbasahi peluh.

"Kamu kenapa sayang?" Kau tertawa kecil mendapatiku histeris, memelukmu. Entah kenapa seketika air mata ini jatuh, rasanya bahagia membuncah tiada terkata, aku ingin terus seperti ini. Selalu dekat didekapmu, selamanya.

"Udah ah, malu diliat tetangga" Katamu tersipu, air muka yang sama saat kau datang meminangku setahun yang lalu dihadapan keluargaku. Bersamamu waktu sungguh terasa sangat singkatnya, meski kerap kau tinggal pergi untuk urusan bisnis yang mulai berkembang. Aku melepas pelukan dengan cepat, untung saja tiada kulihat seorangpun di jajaran teras kontrakan.

"Bagaimana malammu?" Katamu riang tersenyum, tangan kekarmu menepuk-nepuk lembut ujung kening yang ku tutupi dengan kerudung biru. Aku hanya mampu tersenyum, menyeka air mata yang sedikit menetes.

“Hey? Ada apa ..?” Matamu seketika mendekat, melihat langsung ke tengah mataku yang sembab, lalu dengan cepat tangan kasarmu menyekanya.

“Tidak,,” hanya kata itu yang sanggup ku ucapkan, kekesalan semalam karena menungumu hilang seketika. ‘berhentilah cengeng’ hatiku bersikeras menahan air mata.

“Masuk dulu, biar saya siapkan air panas untuk mandi” Aku seketika menghindari tatapannya yang tajam, masih merasa malu.

“Tunggu dulu, “ Katamu cepat, kini kau genggam pergelangan tanganku cukup kuat, hangat, sedang pandangmu terus memburu. Aku hanya terdiam, menunggu.

“Air panasnya nanti saja, aku masih ingin dekat denganmu. Sungguh malam diluar sana terlalu sepi tanpa kehadiranmu” Matamu kembali mendekat, memperhatikan lebih dalam wajahku. Nafasmu mulai dapat kudengar kini, berusaha teratur menahan suatu gejolak aneh, sebagaimana malam terakhir kita bercumbu. Cengkramanmu menguat, hatiku berdebar seketika.

“klek!” pintu tertutup. Tanpa kusadari tanganmu yang lain menutup pintu, setelah tangan kananmu menuntunku masuk lebih dalam ke petak kontrakan. Lalu syurga dunia terbuka, membuatku perlahan melayang. Terus melayang hingga ku sadari kau tersenyum begitu manis. Sangat manis, paling manis dari setiap wajah manusia yang tersenyum padaku dihari itu.

Hingga senja berlalu, seketika tersadar mendengar para pendiri shalat menyeru ditiap penjuru. Kita masih tersenyum, lalu berebut membersihkan diri untuk menyungkur pada-Nya. Bersyukur atas segala nikmat-Nya.


#Tsabita, doa seorang ibu

Sabtu, 18 Maret 2017

Kembali Merindu



Sayang, malam ini adalah malam kesekian kalinya ku terjaga sendiri, tersudut disisi dinding kontrakan tempat kita biasa bersandar bersama sebelum tidur. Namun kini kau tiada, membuat permukaannya terasa dingin.

Hatiku tetap bertanya-tanya meski sebelumnya kau selalu pamit, bila hendak pergi.

Jam berdetak lebih keras, merajai hening di antara sepinya malam. Kulihat jarumnya menunjukan pukul kosong kosong lebih empat puluh lima, menandai waktu malam telah berlalu dari tengahnya.

Seketika sebentuk wajahmu tergambar jelas, sebagaimana kau tersenyum seperti biasanya, bila mendapatiku terjaga seperti ini.

Lalu kau akan bertanya dengan tersenyum manis; "Mau tahajud ya?", namun kau dapati aku hanya akan membalas tersenyum, dan menggeleng setelahnya. Kaupun akan tertawa kecil, lalu meninggalkanku untuk mengambil air wudhu.

Tapi malam ini, jarang kudapati senyum dan bisik tawamu itu. Malam ini, aku lebih teringat bagaimana kau berkata akan luasnya rezky yang Alloh hamparkan untuk kita. "Seakan rezky itu Ia taburkan sebanyak bintang gemintang diluasnya langit yang terus meluas, bahkan langit itupun seperti lazuardi raksasa yang penuh rahmat. Kita sebenarnya selalu hidup dalam tangan kasih sayangnya, hanya saja, kerap kita lupa".

Baru kusadari, berwiraswasta ternyata lebih menyita waktumu. Bagaikan seorang astronot yang menjelajah kesegala arah untuk mengumpul bintang gemintang, entah sampai kapan akan habis bintang itu. Bintang itu terlihat berdekatan, namun sebenarnya saling menjauh, menjaga jarak, menunggu para tuannya masing-masing.

Mungkin ini hanya saat masa perintisan, seperti katamu. Namun, rasanya ada sesuatu yang tercuri di tiap malam kita, dan kurasakan tidak mampu terbeli oleh materi yang membuatmu tiada saat ini.

 Malam-malam indah yang lumrah kita lewati sebagai sepasang suami-istri, ikut terkorban. "Kita terkorban untuk masa depan kita. Yang mungkin entah bagaimana kita di masa depan", seperti katamu tempo hari. Sungguh, pengorbanan ini tidak seperih yang kubayangka. Aku terlalu gembira dengan persentasi keuntungan yang kau jelaskan saat itu, lupa akan konsekuensi yang memisahkan kita seperti malam ini.

Adakah seperih rindu dari sepasah kekasih yang saling menyayangi? Padahal yang sebelumnya haram telah Ia halalkan?

#Tsabita, do'a seorang ibu

Sabtu, 11 Maret 2017

Malam terjaga

#Malam terjaga
   Kita masih saja terjaga ditengah malam, memasuki zona rawan memang membuat tidur kita tidak senyaman sebelumnya.

   Sayang, senja kini kerap membayang. Tepatnya, ku sering resah akan setelahnya, akan waktu-waktu setelahnya. Akankah menjadi perisitirahan terakhir kita?, atau jadi kegelapan tak berujung?. Membias cita itu kini, meremang pandangku. Hingga kita jadi tersenyum tidak sesering dulu, maaf.

   Disaat kebutuhan yang makin menggila, justru waktu menyiasatinya berkurang. Nyatanya begitu, rumah kita kini menjadi semacam tempat singgah kalayak ramai. Kalayak yang kau bilang; satu tujuan dalam hidup.

   Namun lihatlah, mereka sedikitpun tidak berpikir seperti apa yang kau pikir. Kulihat mereka sebatas singgah di lelahnya hidup, lalu satu persatu pergi setelah menemukan persinggahan baru, yang menurut mereka lebih baik, lebih mengenyangkan, lebih menguntungkan, lebih membanggakan, dan kelebihan lainnya yang lebih menunjang segala sesuatu untuk hidup. Bukankah kita selalu berkata; semua didunia ini hanya sekejap?

   Sayang, aku tidak bersedih akan kehidupan kita yang belum memadai, meski itupun sekedar pemenuhan kebutuhan pokok, bukan begitu maksudnya. Hanya saja, aku tidak mengerti; bagaimana kita menghabiskan waktu untuk mereka yang akan pergi? Sedang kita tersusah payah memperjuangkannya.

   Biduk kelurga kita menjadi gamang berjalan, tarik menarik dengan kepentingan mereka. Padahal kita dan mereka telah menjadi satu kesatuan dibawah satu atap pengharapan pada Alloh Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang.

   Seakan kita terseret pada budaya tukang bicara, yang kehabisan waktu dalam pembuktian. Karena terus menenangkan yang berlalu-lalang karena kelaparan, entah itu jasad ataupun rohaninya.

   Dan sedihnya, sesekali kita merasa bertanggung jawab untuk pemenuhan itu. padahal sekejappun takkan sanggup menanggung apa yang menjadi urusaNya. Yang kita sebut sebagai rezky, yang dengan penuh ajaib terus Ia pergilirkan, Ia atur dan takar pada manusia semenjak awal hingga akhirnya kehidupan ini.

      Kau tahu, semuanya kini begitu menegas; bagaimana maksud pertanyaanmu sebelum kita menikah; "Dimanakah ukhuwah itu? Dimanakah nikmat Iman itu? Dimanakah nikamt Islam itu?, sebagaimana yang sering kaum laki-laki dengar dalam wasiat takwa setiap khutbah jumat dimulai". Kau berkata dengan resah, saat itu kita terdiam hingga berpisah di akhir majelis, kita memikirkannya.

   "Tidak penting mereka datang dan pergi, asal kau sayang; selalu datang dan tidak pernah pergi" Aku ingat, tempo hari kau sebatas senyum menanggapi

   Dan kini, kita harus membuktikannya. Semoga, Alloh Ridha.

#Tsabita, do'a seorang ibu

Kamis, 09 Maret 2017

Dua jiwa di satu atap



   Malam menjelang tengahnya, senyap kau menyahut, tertelan sunyi. Hanya matamu saja yang bicara, dan aku mengerti. Aku tunggu kau bicara, hening.

   Sayang, kau terdiam terlalu lama. Menunggu selalu saja terasa lama, terlalu apik kau memilih kata.

   Sebenarnya ada satu hal yang ingin kutanyakan, sesuatu yang baru ku ketahui dari catatan harianmu di masa lalu. Namun bibirku seketika kelu, roman wajahmu kulihat ingin mengatakan sesuatu, sepertinya urusan yang cukup penting.

   "Mulai besok aku tidak lagi ngantor" Katamu tiba-tiba, kini kau memeriksa wajahku dengan hati-hati.

   "Kenapa bisa begitu?" Aku terhenyak, kaget. Bagaimana tiba-tiba kau memutuskan begitu saja? Padahal pekerjaan itu cukup bagus, dengan penghasilan dan prestise yang menggembirakan.

   "Kontrak kerja tidak diperpanjang, hari ini adalah hari terakhir" Datar, tenang kau berkata.

   "Aku coba wiraswasta saja," Katamu cepat, seakan merasakan perasaanku yang mulai khawatir, bayangan kedepan yang mungkin tidak akan selapang kini, kita harus lebih berhemat lagi.

   "Saya serahkan padamu, saya ikut saja bagaimana baiknya" Aku membalasnya lemah, wajahmu ikut meredup.

   Aku kembali menelusuri kembali wajahmu, menelisik tiapsudutnya. Keningmu sedikit mengkerut, alismu yang panjang terlihat lebih merapat. 'Suatu urusan belum selesai,' Pikirku, masih memandangmu yang sedikit menunduk.

   "Sayang, tadi ku temukan catatan harianmu dirak buku. Maaf, tadi kubaca sebagian, penasaran.." Aku berikan sebuah buku harian yang cukup tebal, matamu beralih seketika pada apa yang ku pegang. Kau terlihat sedikit malu, namun berusaha tetap tenang. Aku tertawa kecil melihat ekspresinya, coba memecah sunyi.

   "Itu sebatas masa lalu, saat masih SMU.." Kau mulai mejelaskan, namun terhenti. Selalu saja banyak pertimbangan, seperti mengerti apa yang kumaksud; aku cemburu.

   "Sudahlah, itu sebatas masa lalu. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita melanjutkan hidup dengan jalan rezky yang baru, wiraswasta" Katamu datar, selintas saja menanggapiku.

   "Segera dagang, apa saja.yang penting bukan menjual yang haram dan melanggar hukum" Seketika aku membalas, sedikit kesal karena kau coba mengalihkan.

   "Hey ada apa denganmu sayang? Itu sebatas masa lalu" Kau kini tertawa. Merebut buku harian yang ku pegang, lalu lekat memeriksa mataku.

   "Tapi pasti kau selalu mengingatnya kan?" Aku seketika meninggi, kau hanya tersenyum. Aku makin kesal.

   "Jika aku tak ingat masa laluku, bagaimana kita sekarang bisa bersatu" kau tertawa, lagi-lagi berkata aneh, membuatku makin bingung.

   "Ngomong apa sih? Nggak ngerti" Aku menegas, kau berhenti tertawa. Hanya tersenyum.

   "Kau tahu, orang gila dan amnesia tidak pernah ingin menikah. Bagaimana Ingin menikah? Dengan diri sendiri saja lupa" Kau masih tersenyum, sedang aku hanya melongo mendengar penjelasanmu. Sungguh tak terkira bagaimana laki-laki berpikir.
 
    Kurasakan sungguh kau berbeda kulihat kini, datar saja. Tidak seperti ungkapanmu di catatan harian yang kubaca tadi siang.

#Tsabita, do'a seorang ibu
 

Selasa, 07 Maret 2017

Senja Menghujan untuk kita



 Sayang, cukup lama kita tertahan hujan, sedang senja makin melanda. Jika seperti ini, rasanya tidak terpikir untuk pulang. Cukup disini kita berteduh, menghindari cipratan air yang tersapu angin.

 “Apa kita sebaiknya menunggu saja?” Ku coba memecah hening, coba menyaingi rincik hujan yang kulihat menyita perhatianmu. Matamu meredup, memperhatikanku sedikit khawatir. Dingin mulai meraja, kita menggigil.

 Kau terdiam, tidak langsung menjawab. Mendongak kelangit sebentar, lalu menatapku.

 “Perjalanan kita cukup jauh, sedang jas hujan yang ada hanya selembar plastic yang tetap merembes bila hujan seperti ini” Suaramu sedikit bergetar, kedinginan.

 Aku coba makin mendekat, lalu kau mendekap sebatas tangan kirimu. Rasanya, ingin tetap seperti ini, syahdu meresap kedalam hati akan suasana romantic alami yang disuguhkan hujan.

 “Jangan tidur disini,” Kau tertawa kecil, lalu membelai kening hingga pipi dengan halus. Aku terhenyak, kurasa ada tenaga dalam ditangannya yang kasar; hingga pengaruhnya menghangat ke hati. Aku hanya terdiam saja menatap matanya, sejak kita bertatapan.

 “Dingin,” Aku makin merapat, tidak kuasa rasanya terus menahan terjangan matamu. Lalu kurasakan dekapanmu menguat, sepertinya kita benar-benar menggigil kini.

 “Eh say, katanya hujan lebat begini bagus lho buat pasutri” Seketika kau menyadarkanku.

 “Bagus, apanya?” Aku heran, ku lihat wajahmu nampak sedikit berubah. Meriang seperti ingin ikut berpesta bersama hujan, seperti anak kecil ditepi pantai saja.

 “Iya, bagus. Katanya hujan begini buat pasutri cepat beroleh momongan” Matamu berbinar, bergejolak.

 “Apa hubungannya?” Aku makin heran.

 “Kau lihat? Karena dinginnya saja kita jadi berdekatan serapat ini, apalagi berada dibawah terpaan airnya langsung. Haha..” Kau tertawa kecil, sedikit malu. Namun aku suka.

 “Dih,” Seketika aku melepas dekapannya, protes, dan tersipu. Malu, menyadari kini tengah berada dipinggir jalan raya. Didepan banyak orang berlalu lalang dengan mobil mewahnya, meski wujud kami membias oleh derasnya hujan.

 “Ayolah sayang, kita ujan-ujanan aj. Kapan lagi kita bisa begini” Kau sungguh bersemangat, menarik tanganku menuju sepeda motor yang terpakir dibibir jalan raya, keadaanya sudah begitu basah.

 “Coba idupin dulu motornya” Aku agak ragu, mengingat kembali sepeda motor tua yang suka meriang jika lama terguyur air.

 “Sebentar” Kau tersenyum, segera menghampiri sepeda motor yang menunggu. Sekejap saja seluruh tubuhmu basah kuyup. Lalu mulai menyelah tuas starter manual sepeda motor untuk menghidupkannya.

 Hingga sepuluh menit berlalu, motor kita masih mogok. Enggan menyala, berulang kali kau bongkar busi lalu menstarter kembali. Kau kini terdiam sebentar, memandangi sepeda motor satu-satunya.

 “Kenapa dengan motornya?” Aku sedikit berteriak, coba menyisihkan riak hujan yang memecah pendengaran.

 “Sepertinya mogok say, kedinginan kayaknya” Akhirny kau membuka suara setelah hampir setengah jam berlalu.

 “lalu?” Aku sedikit khawatir, kembali berteriak. Meski suasana begitu romatis, tetap saja tidak mungkin jika mesti bermalam dibibr jalan sedingin ini.

 “tolong bantu do’a” katanya ikut berteriak.

 “Berdo’a agar kita dapat beranjak untuk dapat melanjutkan perjalanan. Kau tahu sendiri, para peserta majlis pasti sekarang sudah menunggu lama” Ia terus berteriak, meski kaki kanannya terus menjejak tuas starter sepeda motor bebeknya.

 “Astagfirulloh” Aku teringat, menyadari ada banyak mansuia tengah menunggunya. Sedang aku terbuay, hingga hati ingin terus daam dekapannya. Saat hujan memang mustajab, bahkan percikan do’a yang tidak disadari seklipun.

 “Brum,, brumm,,!" Akhirnya sepeda motor kesayangan berhasil bangkit, menghangat setelah sebelumnya terus distart manual. "Alhamdulillah," Pujiku dalam hati, serta merta hujan dan senja makin terasa manis.

 “Say, cepat kesini. Motornya dah hidup” Ia berteriak kegirangan. Matahari diwajahnya makin berbinar, meski terbalur air. Cerah sekali. Aku seketika berlari menghampiri, kini kita berdua basah kuyup.

#Tsabita, do'a seorang ibu

mendung disaat senja



 Sayang, kulihat kini kau agak murung. Padahal kita menikah baru seumuran jagung. Mestinya saat ini jadi saat-saat manis, untuk kita reguk berdua sebagai sepasang suami-istri. Pandai sekali berkilah, kau seketika tersenyum begitu aku coba menelisik wajahmu.

Seperti biasa, sehabis ngantor kau tidak langsung beranjak mandi. Meminta dulu secangkir kopi, lalu mengambil buku yang belum sempat kau habiskan untuk dipahami. Tapi buku tebal yang kau pegang kali ini, jelas hanya sebatas dibuka, tatapmu kosong. Tidak seperti orang yang sedang asyik membaca.

 “Sayang, kemarilah, duduk disini” Kau seketika memanggil. Aku tahu itu caramu saja untuk mengelak, agar aku tidak terus memperhatikanmu.

 “Ada apa?” Aku segera menghampiri, duduk disebelah kirimu. Kita terdiam sejenak, menyandar pada dinding.lapuk kamar kontrakan.

 “Nggak knapa-napa Say..,hanya ingin dekat aja,” Katamu datar, tersenyum kecil. Namun intuisiku merasakan tidak seperti itu, ada sesuatu yang tengah meresahkanmu.

 “Jujurlah, bukankah aku istrimu?” Aku coba membujuk, namun hanya membuat senyummu terhenti. Lalu tanpa permisi membaringkan sisi kepala kirimu di kedua pahaku, bermanja. Aku menunggu, kita terdiam.

 “Ada apa?” Ku kembali menelisik, sebelumnya ku ambil buku yang ia pegang. Tetiba perasaan ingin meringankan bebanmu menyeruak.

 “Apa hanya karena uang semua pertengkaran itu bermula?” Sekarang kau bertanya, lupa akan buku yang telah ku letakan ke atas karpet.

 “Maksudmu? Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu?” Heran, tanpa judul ia berkata begitu, selalu begitu. Kini makin yakin, bahwa ada sesuatu yang kini mengusik hatinya.

 “tadi, sepulang dari pabrik. Aku tertahan lampu merah di perempatan jalan raya, kau tahu apa yang kulihat? Ku saksikan dua anak kecil seumuran enam atau tujuh tahun tengah berkelahi” Mendung diwajahmu makin menghitam.

 “Awalnya gimana bisa berkelahi di dekat perempatan?” Aku tertarik.

 “Entahlah, awalnya kulihat seorang temannya menarik kerah kaos temannya. Sebelumnya mereka ngamen bersama di pintu Angkot yang tengah berhenti, lalu tiba-tiba mereka perang mulut dan anak yang ditarik kaosnya tadi melempar uang rejehan pada ank yang membentaknya, seketika mereka adu jotos. Hingga ada seorang petugas lalu lintas, barulah mereka mereda.” Napasmu menghela, dapat ku dengar kau berusaha mengatur kembang kempisnya.

 “kau tahu? Kurasa makin hari makin bertambah saja anak-anak yang mengamen di perempatan itu.” Katamu lagi, resah.

 “lalu kita bisa apa? Aku memelas, kau terdiam. Kita tak merasa tak berdaya, hening sejenak . Masih memandangi tembok kontrakan yang kumuh.

 “Bila mereka, orang kaya, konglomerat. Dapat berbuat kebaikan dengan kekuatan hartanya, dengan pengaruh kedudukan sosialnya. Lalu kita, sepasang kekasih halal yang miskin ini, bisa berbuat apa?” Katamu lirih,

 “Kata siapa miskin? Bukankah kita punya cinta?” Aku coba tertawa, menyela. Hanya ingin sedikit member ruang dari kekakuan.

 “Mungkin, setidaknya, kita dapat berusaha untuk jadi orang tua yang baik” Aku tersenyum sendiri, mengelus rambutnya yang masih bercampur peluh dan debu jalanan.

 “hmm, iya ya. Solusi sederhana yang dapat kita lakukan baru sebatas itu”Senyum itu akhirnya terbit diwajahmu.

 “Eh ya, kamu dah hamil belum?” Seketika beranjak, kamu tersenyum begitu manis. Menatap lekat, sontak mata kita bertemu.

 “Ih, langsung kepikiran ingin segera jadi ayah ya?!” Aku tertawa kecil.

 “lho salah ya? Bukankah hanya aku yang punya SIM untuk menghamilimu?” Kita tertawa, mendung berangsur memudar, terhempas hangat mentar senja yang merona.

 “SIM?” Aku pasang wajah heran seketika, berpura tidak mengerti.

 “Iya SIM, seperti yang Pak Penghulu bilang waktu itu, dalam wejangan akhir prosesi ijab kabul” Kau makin lebar memperhatikan kebingunganku.

 “iya, SIM; surat ijin menghamili!?” kau jelaskan cepat, lalu tertawa. Aku ikut tertawa, kembali teringat, bagaimana Pak Penghulu sedikit berkelakar.

 Kita tertawa makin lepas, lalu merendah setelah adzan maghrib berkumandang.

#Tsabita, do’a seorang ibu.

Senin, 06 Maret 2017

Memesra Pagi



   "Pagi itu selalu ajaib ya, segalanya seakan bermula, semangat dan energi terasa penuh. Padahal kerap dimalamnya, kita merasa penat dan resah, seakan waktu tidak akan berlanjut" Katamu dengan tersenyum, selalu saja itu yang pertama kali kudapati mendapati di awal pagi bersamamu. Sayang, aku tak bisa sepenuhnya meresapi rasa syukurmu karena rutinitas sebagai perempuan lebih menyita perhatianku. Hanya dapat tersenyum saja membalasnya, ingin segera menuju jamban.

"Hey, mau kemana?" Katamu setengah protes,

"Sayang, aku mesti mencuci pakaian." Aku menyahut, berusaha mengelak dari dekapannya.

"Dengar, aku merasakan energi pagi begitu kuat saat ini. Diamlah sejenak, kita serap bersama" Katamu lirih, kau mendekap makin lekat.

"Kamu telat sayang," Aku ikut berbisik,

"Telat?" Kau seketika membalas, nampak sedikit heran.

"Iya telat, Istrimu ini telah sejak tadi menyerap energi itu. Dan kini saatnya menggunakannya untuk bekerja, sayang bila nanti habis begitu saja sebatas perenungan. He.." Aku jawab becampur geli. Sedang kau seperti terhenyak, kaget. Hingga perlahan pelukanmu mengendur, kini saatnya aku bebas.

"Hey mau kemana? Jangan harap bisa lepas begitu saja," pelukmu kembali menguat.

"Sayang, aku sibuk!" Aku menegaskan padamu, sekarang bukan saat yang tepat untuk bermesraan.

"Aku lebih sibuk lagi," Kau tetap memeluk, kini berbisik lebih lirih, memesra, meniup daun telinga kananku.

"Lalu kenapa masih menahanku?" Aku sedikit kesal, kamu selalu terlalu santai.

"Karna sekarang aku sibuk meresapi bara cinta, makin membara saat ku lihat kau begitu sederhana dalam bertindak.Mengurai yang kupikir rumit menjadi sederhana, langsung mewujud pada tindakan. Kau tahu? Butuh kecerdasan luar biasa untuk melakukannya" Senyummu mengembang, kita saling menatap, semakin dekat.

#Tsabita, do'a seorang ibu

Minggu, 05 Maret 2017

Tsabita (part 2)

#do'a

"Usah menangis dihadapanku, sungguh itu tidak pantas" Kau berkata lirih, wajahmu datar, tiada empati kulihat disana.

"Apa salahnya menangis? Sedang kau adalah suami, tempat berlabuh perasaan senang dan sedihku," Seketika hatiku remuk, kau menanggapi keluhanku begitu ketus.

“Hehe, jangan mentang kamu perempuan..” Kau tersenyum, membuatku jengkel. Kusadari, seorang yang kucinta tidak sepeka yang kukira.

“Lalu harus bagaimana? Aku memang seperti ini” Air mata kembali menderas, ingin sekali marah. Namun suatu perasaan aneh menahanku, dan akhirnya hanya air mata yang bicara.

“Sayangku, dengar,” Kau kembali menatapku lekat, senyum yang menyebalkan kini berubah drastis menjadi wajah penuh perhatian, penuh pengertian. Wajah yang membuatku mencintainya, semenjak kulihat sejak pertama kali kau meminangku bulan lalu.

“Menurutmu aku mesti bagaimana? Apa aku mesti sekuat Sang Pencipta takdir? Hingga ku meluluskan perasaanmu untuk mengomentari takdirNya yang tidak sepenuhnya kita mengerti?” Kau menatapku lebih tajam, menunggu ku membalas. Namun kataku tercekat, tidak menyangka ia berpikir sejauh itu.

“Kau tidak layak mengaduh seperti itu dihadapanku, sedang malam-malam penuh barakah dilewatkan begitu saja tanpa meronta dalam doa-doa tulus padaNya. Siapakah yang lebih layak untuk tempat mengaduh menurutmu? Bagaimanapun kau berkeluh kesah dihadapanku, aku tetap tiada daya merubah semuanya..” Lirih suaramu, namun terasa keras menampar langsung ke ulu hati. Aku makin tercekat, hanya ingin diam, menunggumu menjelaskan lebih lanjut.

“Sayang, apakah kau lupa? Tempo hari kau bercerita, bahwa kau hamper saja meninggal tenggelam saat mandi dan tercebur ke kobakan mata air yang dalam,”-

“Katamu saat itu masih sangat kecil, sekitar berumur empat atau lima tahun. Kau mengingat bagaimana terjebur dan tenggelam, kau ingat bagaimana air tertelan begitu banyak, lalu semua pandangmu gelap. Namun tiba-tiba, kau merasakan ada tangan kuat menarikmu dari dasar kolam mata air, namun tidak kau jumpai seorangpun disana.”-

“Lalu siapa yang menolongmu? Bukankah itu pertanyaan kita saat itu?”

“Entahlah?” Seketika ku menjawab begitu saja, sebagaimana kau menanggapi saat ku pertama kali menceritakan pengalaman ajaib itu pertama kali. Kini kuingat kembali, saat itu kau hanya tersenyum saja menanggapi ceritaku. Seakan biasa, tidak seajaib yang kurasakan.

“Lalu, kau pun pernah bercerita. Bagaimana orang tuamu begitu memanjakanmu, karena kau anak gadis satu-satunya setelah sebelumnya empat kakakmu meninggal dunia"-

"Ada doa yang selalu menyerta dalam sujud-sujud panjang kedua orang tua kita, yang mungkin kita sering lupakan. Lalu saat mereka berlaku yang kita rasa menyelisihi keinginan, kita serta merta melupakan mereka. Padahal, mungkin saja, keberadaan kita adalah buah do'a-do'a mereka, hingga Sang Pencipta menghendaki kita tetap hidup hingga sekarang"-

"Disaat banyak bayi-bayi meninggal karena peperangan panjang, kita diselamatkan hingga saat ini. Akankah kita ingat mensyukurinya?"-

"Kau tahu? aku selalu ingat. Bagaimana ibunda bercerita. Dengan penuh semangat semangat beliau mulai bertutur; "Dulu, saat ibu tengaj asyik mencuci pakaian. Tanpa disadari anak bayinya tengah merangkak menuju tumpukan bebatuan yang akan dijadikan bahan pondasi untuk mendirikan rumah. Tiba-tiba seorang nenek tetangga berteriak histeris, ternyata bayinya yang belum berusia dua tahun tertimbun bebatuan tadi, ukurannya cukup besar. Harusnya aku mati tertimbun, namun ajaib. Aku selamat tanpa segores lukapun, bahkan tanpa bekas."-

"Lalu siapakah yang menahan bebatuan berat itu?"-

"Atau kisah masa kecil teman main saat ku kecil, dimana ibunya begitu kaget telag menemukan ulat tanduk yang mati di berak anak bayinya. Bukankah ajaib? Bila seorang bayi tidak sakit sedikitpun, sedang sebelumnya seorang bayi memakan ulat tanduk yang berukuran sebesar ibu jari dewasa, dengan bulu tajam sekeras injuk,"-

"Siapa yang menjaga keselamatan kita semua? Adakah layak kita mencela masa yang tlah berlalu, seakan Alloh tidak pernah mengehendaki kebaikan sekalipun terhadap kita? Bahkan Ia selalu Maha Penyayang, selalu Maha Pengasih, meski tiada manusia yang mengetahuinya"

"Dengan terjadinya kejadian itu, selain mengingatkan kita pada Sang Pengawas hidup. Kejadian itupun menjadi peringatan keras, bahwa anak adalah amanh dari-Nya. Dimana sangat diperlukan kesungguhan merawat dan menjaganya"

"Bukan masalah yang kurisaukan sayang, tapi layak kah kita untuk senantiasa ditolongNya? Bahkan hingga kita berada di mahsyar,"

"Orang tua kita telah berhasil menjaga amanah ituini, hingga kita menikah seperti sekarang ini. Tapi kita? Jangankan amanah keturunan, amanah syukur terhadap diri sendiripum masih serba lupa. Lalu bagaimana bila nanti saat kita berketurunan? Kemana anak-anak kita akan menemukan figur pertama untuk hidupnya? Hingga saatnya mereka menemukan figur terbaik dalam hidupnya, inginkah kita siap sedia untuk tampil mengisi kekosongan itu?"

"Bukankah kita menikah, ingin sehidup sesyurga?" Kau kini nampak tersenyum, sedang kataku makin teekunci. Nampaklah kini semua, betapa aku pelupa akan nikmat pada Pencipta kita.

#Tsabita, sebuah do'a Ibu.