[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Jumat, 08 Desember 2017

secarik pesan di ujung lelah

Puisi~



 rundukmerunduk wajahmu takjim

pada yang apa kau perangi di masa lalu

meluruh, mengiba kini

melempar jauh ke dasar lenguh



>> puisi selengkapnya>>

Rabu, 06 Desember 2017

Kursi Malas

~Puisi~



Monolog si sunyi seorangdiri itu, seperti kursi, yang dapat diduduki guna menyelaraskan hati. . kau benar, tiada puisi itu.

Jumat, 24 November 2017

~Cerpens~: Berubah

Hujan masih terlalu deras menutup pendengaran Arman di kursi duduknya, tapi telinganya masih terlonjak, kaget, ketika mendengar penuturan anak semata wayangnya yang yang seketika membuka pintu rumah dengan langsung menghambur kepelukannya. Dengan menangis, Marlin, anak semata wayangnya itu langsung mengadu dalam dekapannya, tanpa sempat mengucap salam seperti biasanya.

.

"Mas Bobi berubah ayah!", Tanpa Arman bertanya, Marlina langsung mengadu kepada sosok yang diharapkan akan mengerti perasaannya.

..

Rabu, 22 November 2017

Usah Lelah Berdoa

hujan merintik di pematang senja

 selepas kau beranjak

 masih saja kudekapi kenangan

 meski pilu melulu

 hingga ragu merajut bisu .

 dalam...



Minggu, 19 November 2017

~Kabut Fiksi~: Adalah Sewajah Cita-cita .

Senja kita merambat cepat

 jenuh jauh melengguh acuh

 seakan gunung bentangkan teduh

 naung naungi layar keluh .

 kita .. melarikan...

Rabu, 15 November 2017

~Kabut Fiksi~: Mu Itu

~Kabut Fiksi~: Mu Itu:



 Lambat berjalan hari-hari muram yang berelegi
 menatap hampa imagi sunyi .
menyapa lagi duhai hati enggan menanti yang bernyanyi . ...


Rabu, 01 November 2017

Memesra Cita

     "Tidakkah sungguh indah semua ini?"
Matamu kini terpejam, menengadah ke langit cerah, menghirup panjang akan segarnya ...


>> baca cerita selengkapnya

Cowok Ganteng

"Ganteng itu Superboy, baik, kuat dan berani" Lantang Erni berapi-api.
"Berani gimana?!"  Semprot Gatotkaca merasa cemburu...



>>baca cerita selengkapnya

Cicak Di Langit Manusia

Malam kian larut, namun Bujang tidak terlihat mengantuk sedikitpun. Pekerjaannya baru separuh jalan, padahal esok pagi mesti sudah diserahkan...



>> baca selengkapnya

Sang Penjaga

"NGAUNGG GRR GRR," Auman khas harimau kembali terdengar di dalam kamar, sontak membuat para tetangga yang tengah berkumpul  ...



>> baca selengkapnya

Jamuan Instan Cinta Taman Kota

Bujang tertegun sendiri di tepi jalan raya, dilihatnya banyak sekali muda mudi penuh ceria tertawa-tawa berpasangan di atas kuda besi sambil...



>>baca selengkapnya

SEPERJALANAN PULANG

Di timur kota Bandung, angin bertiup kencang, menggesek dedaunan malam menjadi suara suara riuh tak kupahami. Berputar, menerbangkan rambut...



>>baca selengkapnya

Burung Beo Pak Budi

Pak Budi merasa beruntung, asisten rumah tangganya bersedia memundurkan waktu mudiknya. Jadi ada orang yang menjaga rumah dan memberi makan...



>> baca selengkapnya

Penjara

"GEDUBRANG!," Badron menendang jeruji besi di hadapannya itu sangat keras. Karena begitu kesal bercampur sedih, rasa sakit ...



>> baca selengkapnya

Sepotong Kue

SUATU sore, datang seorang ibu tetangga sebelah rumah Bu Adil dengan sepotong kue bolu; sebagai buah tangan dari anaknya yang baru pulang ...



>> baca selengkapnya

TOBAT

Badrun terburu segera mendatangi ketika sebelumnya Candra menelepon ingin segera diajarkan mengaji. - "Manjada wa jada," Batin Badrun...



>> baca selengkapnya

KECOA

"Udahlah bro, jangan terlalu diambil pusing; gimana itu hidup bener nggaknya.., jadinya sekarang lo malah linglung sendiri kan?!,&quot...



>> baca selengkapnya

BERBAGI WAKTU -

BADRUN adalah bocah seumuran lima tahun yang tengah bersekolah di 'play group' dengan system belajar 'fullday'. Yang dengan...



>> baca selengkapnya

SETENGAH SADAR -

Mentari dengan riang meruntuhkan sekat mimpi dengan sekejap. Hanya memicingkan mata yang kulakukan, selebihnya sungguh tak kuasa mata ini ...



>> lanjutkan baca

Selasa, 31 Oktober 2017

Kota Sakti dan Terjaga di akhir bulan Tahun lalu

Disudut malam, pada akhirnya tetap saja hanya terpana akan langit luasMu. Dalam keheningan sepi ini, memaksa mendongak karena sungguh indah karyaMu.

Tingginya tetap tak terjangkau, meski bertumpu dengan kedua pancang pilar. Sungguh, langitMu tetap jauh ku kejar batasnya.

Biarkan ku pungut, harapan yang tersisa. Biar ku peluk asa yang Kau titip, tetap menyusuri jalan sutra para perindu. Rindu, akan sebuah hidup yang mereka anggap sekarang hanya sebuah utopia.

Akan suatu kota yang sangat indah, dimana binatang berbisa pun hanya akan jadi lelucon anak anak. Dimana air yang luruh dan apa yang dikeluarkan tanah menjadi rahmatMu.

Dimana setiap sudut pendengaran, penglihatan dan perenungan mengantarkan akan indah mengingatMu. Dimana, rasa rindu nyata menyita jiwa, semata-mata khusyuk menyungkur padaMu.

Menyata lah cinta, menjelmalah jiwa. Sebelumnya buihpun, bergerak semarak menyongsong syurga.

Hilanglah mimpi utopia, berganti nyata dalam regukan tiap waktunya.

Menanti, pertemuan dengan Sang Penentram jiwa.

Adakah jalan pulang untukku?

Melangkah tanpaMu...

#Rintik_kantukku_hilang_dikota_sakti

Senin, 30 Oktober 2017

Memalam Di Ingin Ku Menyerah

Bagaimana menurutmu? Akan masa depan seorang lelaki yang menghabiskan buah ejekan dari sebuah telaga masa lalu? Masa-masa dimana mendapati dirinya dapat tertidur dengan nyenyak di awal malam hingga pagi menjelang itu, berikutnya sering terjaga karena mengingati sewajah indah yang mengusiknya sejak pandangan pertama, Membuat kedua matanya enggan terpejam hingga saat ini.

            Wajah indah itu hadir ketika dirinya hendak beranjak dewasa. Saat mulai bertanya-tanya akan arti kehadirannya di dunia, akan makna kehadirannya dalam keluarga, makna penampakan tampangnya di depan teman-teman bermain, dan semua itu terampas begitu saja oleh ujung pertanyaan besar dalam dirinya, “siapa pemilik wajah indah itu? Dan apa arti kehadirannya di hadapan pemilik wajah indah itu?”.

            Tidak banyak ia lihat binar-binar ceria dari wajah indah itu, namun justru itu yang membuatnya ingin terus mereguk pemandangan sosoknya hingga memasuki ruang-ruang kosong dari jiwanya itu.

            Tidak banyak kata dalam gerak bibirnya, tapi itulah yang justru membuatnya selalu ingin mengenang wajahnya.

            Di malam-malam memabukan dari kucuran telaga kenangan itu, tidak ia terima begitu saja. Ia ingin melawan, sangat ingin! Tapi semakin ia melawan, semakin ia merasakan kekalahan. Entah bagaimana lelaki itu jadi merasakan begitu rapuh terhadapnya. Hingga sebuah pertanyaan lagi menyusul tanpa menunggu sejenak dari sesaknya pertanyaan-pertanyaan lalu yang belum terjawab, “apa arti seseorang yang kalah dalam kehidupan ini?” teriak batinnya kini memenuhi rongga jiwa.

            Apa arti hidup dari seorang manusia yang tak berdaya dalam kehidupan ini? seseorang yang tal berdaya karena mereguk suatu keindahan dari sewajah sayu itu? Hingga siang-siang ia merasakan hampa, meski telah berkali-kali ditampar kenyataan yang seharusnya membuat ia bangun dan tersadar.

            Ia resah, gusar, karena menyadari suatu anomali hati telah berlaku dalam jiwanya. Ia marah, menangis, karena semua yang dipikirnya sebelumnya begitu berharga dan damai tidak lagi memberikan makna. Hingga suatu saat dimana titik jenuh kekalahannya itu memuncak, sebuah kabar dari manuskrip langit tebuka dan berkata-kata padanya, “simpanlah kejadian itu sebagai pelajaran besar dalam hidupmu... Itulah fitrah cinta, dimana saat melawannya kau seperti melawan pemilik jiwamu sendiri, tiada yang dapat melawan segala yang telah ditentukanNya, maka bersabarlah!”
            “Dan jangan kau campurkan kekalahan itu dengan dendam dan amarah, hanya karena kau tidak mampu bersabar merasakan sakit dari suatu ketentuan yang telah berlaku, karena semua... pun bersusah payah melewatinya.
            Menyerahlah! Menyerahlah dengan iklash dan sepenuhnya, semoga Pemiliknya akan menuntunmu dengan kasih sayang..
            Menyerahlah! Taslim! Dan berbahagialah wahai para muslim..”


”Abaikan saja, orang jahil yang dengan berani meramal-ramal masa depanmu.."

Bandung, 

Kamis, 26 Oktober 2017

Selasa, 24 Oktober 2017

Tangisan Pertama

Sayang, masih terasa ajaibnya bagaimana anak pertama kita lahir ke dunia. Saat itu aku mengaduh sekuatnya, kau pun terlihat paling pucat dari semua yang menyaksikan, lalu terdengarlah jerit tangis penerus kita untuk pertama kalinya hadir didunia.

Ingatkah sayang? Saat itu kau berkata penuh panik dan khawatir semenjak pembukaan pertama sebelum melahirkan, dimana aku mengaduh dengan suara yang tidak pernah kau dengar sebelumnya. Bila sebelumnya kau pernah berkata salah satu kecantikanku adalah selalu berbicara lirih, maka saat itulah diri ini lupa, atau tepatnya mengabaikan bagaimana menetapi diri untuk menjadi sebagaimana yang engkau suka. Maaf, itulah kenyataan.

Rasanya mau melahirkan memang begitu sakit, hingga harapan dan putus asa serasa beririsan silih berganti. Berganti-ganti begitu cepat, antara harapan ingin bertemu dengan bayi kita dan berputus asa karena rasa sakit yang tidak terperi. Kau ingat? Saat itu kau pun terus mengingatkanku untuk terus berdikir, dengan pesan pesan lirih membisiki telinga kananku. Namun, nyatanya kau dapati hanya hardikanku, dan memang saat itu terasa tiada berguna lagi segala suara. Terus saja meraja dalam diriku; bagaimana harapan ingin segera melahirkan dan rasa sakit itu berganti dengan cepat. Keimananku benar-benar diujung tanduk suamiku; akan kepercayaan kita bahwa Sang Penciptalah Yang berbuat, hakikatnya Ia yang mengeluarkan sesosok manusia keluar dari perut manusia.

Sayangku, suamiku, peminpin bahtera rumah tanggaku. Kita saat itu mendapati bagaimana kadar kualitas jiwa kita sebenarnya, jika saja tidak Alloh selamatkan, mungkin saja diri kita meninggal disaat berputus asa akan ujian-Nya. Naudzubillah.

Sayang, bahkan bila aku mengingatnya kembali bagaimana saat prosesi kelahiran anak kita saat itu, hanya akan membuatku trauma. Sungguh.

Disaat itu semua kata-kata manismu seakan menguap begitu saja, segala kelakar segar dan keilmuan yang kau ajarkan terasa hambar. Tetap saja, keyakinan yang Alloh karuniakan saja yang menjawabnya, lalu disitulah bagaimana pertanyaan murabbi kita kini terjelaskan; bahwa nikmat terbesar dalam hidup itu ialah nikmat Iman. Tepatnya "Nikmat iman dan nikmat Islam," Katamu, jika kuingat lagi.

Sayangku, suamiku, peminpin hidupku. Teruslah bicarakan keajaiban itu, bagaimana suatu doa adalah ajaran langit sebagai kuncinya. Meski kau lihat diri ini kerap kau lihat jenuh mendengarnya, kerap tertidur disaat kau jelaskan suatu hikmah fikih dengan panjang lebar, meski kerap pula kau jumpai tidak membekas dalam ingatanku. Namun ada saat dimana semua itu sangat berguna, terasa nyata, hingga mengukuhkan pengetahuan menjadi suatu keyakinan. Sebagaimana katamu; "Alloh saja yang memberi rezky ilmu dan kefahaman, untuk itulah rosul yang mulia mengajarkan sebentuk doa sebelum belajar; Rabbi jidni ilman, warjukni fahman".

"lalu taukah keajaiban apa yang ku temukan dari prosesi kelahiran itu?" Katamu seketika, saat itu kulihat kaupun ingin mengutarakan banyak hal, meski kita baru saja sampai sepulang dari klinik persalinan.

"Anak kita, anak kita lahir dengan kepala dahulu. Kau tahu bagaimana tengkorak anak kita itu? Bentuknya seperti mentimun buncit, lalu berubah membulat setelah sepenuh keluar. Kata dokter, memang saat itu tengkorang bayi terbuka sedikit." Kau terdiam beberapa saat untuk menarik nafas, aku ikut tertegun menanti ceritamu selanjutnya.

"Tengkorak bayi terbuka sedikit, dengan ukuran sangat tepat. Maksudnya, jika saja tengkorak itu tidak terbuka untuk melonjong; maka hancurlah kepala bayi kita karena menabrak kerangka panggulmu yang keras. Dan bila bila tengkorak kepalanya terbuka terlalu lebar, maka isi otak yang akan menonjol keluar, bahkan bisa merobek kulit kepala karena terdesak. Maha suci Alloh, kepala tiap bayi yang lahir terbuka di bibir rahimmu lalu menutup kembali melindungi isi kepalanya! Ajaib! Alloh Maha Besar, kenyataan jelas sekali kulihat; bagaimana Ia Yang Maha Lembut menciptakan satu titik keamanan dengan membukanya tengkorak bayi dari dua sisi yang begitu mematikan!. Jika semua terjadi tanpa kehendaknya, siapa yang menghendaki semua itu penuh perhitungan?!" kau terdiam, kita benar-benar terdiam. Hening.

Hingga akhirnya suara tangis pecah dikeheningan malam, kita baru tersadar bahwa kini ada satu pendatang baru yang menjadi bagian keluarga kita. Setelah mendapati asi, ia tertidur kembali dengan lahap menghisap air susu yang entah bagaimana pula menjadi subur melimpah.

"Mmm, sayang. Menurutmu, kenapa setiap bayi terlahir menangis ya?" Katamu seketika, dengan wajah serius masih terus melihat bagaimana bayi tengah menghisap lahap asi dalam buaianku.

"Entahlah Pah, mungkin sakit, mungkin karena saking nyamannya berada didalam rahim sebelumnya. Yang pasti, belum pernah ada seorang bayi bersaksi bagaimana perasaannya ketika detik-detik ia dilahirkan" Aku menjaqab agak kesal, tidak perrcaya, bagaimana pertanyaan anehmu kembali kudengar lagi kini. Ingin sekali tertawa, hanya saja ada seorang bayi yang tengah tertidur kini, tahan saja, cukup tertawa dalam hati.

#Tsabita, doa seorang ibu

Senin, 23 Oktober 2017

Senapas Kata Waktu Itu




Malam berderaian wajahmu kasih
dikesendirian selimut yang gigil
ada napas tertahan
memandangi kenangan
menelanjangi angan

bagaimana kabarmu?
di sunyi malam ini,
senapas coba ku sapa dirimu
bersama senyumku yang sendiri
biar kulukis artefak perhatianmu itu

malam malam memanjang ke waktu lalu
waktu di mana kita tak tersekat dewasa
waktu dimana tak menyadari benih memburu itu
yang menjadikan kini kita saling menjaga

senapas kata itu biarlah bertaburan
biarlah malam melarutkan semua itu
akan benih yang berujung pengharapan
akan penghabisan yang berujung kerinduan

biarlah malam melumatnya
sebagaimana janji saat itu
untuk hanya sebatas saling menyapa
rindu biarlah berlalu

ar, 23Okt 2017

Puisi lainnya>>

Rabu, 18 Oktober 2017

Panggilan Gila [5]

“AH YA! INI SEMUA BISA DIJUAL! HAHAHA..”
             
Terdengar lagi, sebuah teriakan dengan tawa menggelegar di kebun belakang rumah. Demi mendengarnya, Fatimah tergopoh menemui suaminya. Dirinya bingung, karena setiap kali ditemuinya, kini suaminya itu malah memandangnya nyalang. Tiada lagi mata teduh itu, mata yang kerap membuat Fatimah nyaman. Tidak terlihat binar matanya dari suaminya, mata yang membuat selalu merasa di cintai. Fatimah rasakan, mata suaminya itu kini terlihat asing, mata yang memandang penuh amarah dan kekesalan. Bahkan tertawa dan bicaranya tidak lagi lembut, apalagi selembut rayu-rayuan manisnya yang kerap membuat wajah Fatimah merona. “Tiada lagi Bang Aldi yang dulu,” pikir Fatimah, “tiada lagi,”.
           Setelah hampir seharian Fatimah mengerjakan maklunan order jahit, pekerjaanya yang kian menggunung itu. Malamnya pun ia harus sering-sering terjaga, karena mendengar teriakan suaminya yang tiba-tiba. Meracau tidak menentu, hingga membuatnya takut. “Tapi Bang Aldi tidak gila, ya! Bukan gila! Hanya mungkin sedikit depresi saja,” Fatimah menguatkan hatinya sendiri. Lalu bila dirinya telah membatin demikian rupa, gerimislah hatinya, dan hanya mampu memandanginya dari jauh.
Fatimah lihat, suaminya masih terduduk di tepi kebun, padahal malam telah kian larut. Tubuh lelaki itu kian ringkih, hingga membuat wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih tua. Dan yang paling menyedihkan adalah kebiasaan barunya yang jarang mandi dan mengganti pakaian, bahkan pernah hingga seminggu tidak terkena air, selain air wudhu dan cebok setelah buang air besar dan kecil. “Setidaknya masih shalat,” Fatimah kembali menguatkan hatinya. Tapi diam-diam, Fatimah sebenarnya terlalu takut, perempuan itu syok. Dan ketika dirinya telah begitu dekat, makin bertambahlah rasa takutnya itu.
“Neng, kenapa bengong begitu?”
Fatimah mencelos, betapa kini lelaki itu telah berubah kembali suaranya. “Benarkah suara tawa tadi yang didengarnya itu suara suaminya?”, batin Fatimah kembali bingung. Bahkan ketakutannya justru bertambah, “benarkah suara tawa keras tadi itu suara suaminya?”.
“Kebetulan, tolong buatin lagi kopi ya Neng?!”
Setelah perintah itu Fatimah lihat meluncur langsung dari mulut suaminya, segera saja ia negloyor ke dapur. Fatimah langsung menyalakan tungku, dan memanaskan air. Menungkan kopi tubruk kedalam panci setelah air di atas tungku kayu itu mendidih, lalu menyiapkan gelas bersih beserta sesendok gula, untuk menerima tuangan kopi yang telah matang. Masih terlalu gugup wanita itu, tidak berani bertanya, “mengapa meminta kembali kopi panas di malam yang kian larut? Begadang lagi? Oh tidak, setidaknya Bang Aldi telah berbicara dengan nadanya semula,” nada bicara yang lembut tadi sudah harus membuat Fatimah banyak-banyak bersyukur. Dan rasa syukurnya itu, telah membuatnya lupa akan ingatan mata nyalang dan penuh amarah sebelumnya.
Fatimah menghela panjang, menunggui air hingga mendidih di hadapannya. Kembali mengingat, akan perdebatan terakhir dengan suaminya itu. Perdebatan lirih diatas ranjang, setelah mereka bercampur badan malam itu. Dan selalu saja Fatimah tidak menemukan titik temu dengan keputusan suaminya itu. Keputusan yang lebih memilih berkebun, meski dengan penghasilan jauh lebih rendah beberapa kali lipat dari pekerjaan sebagai mandor proyek saat suaminya itu bekerja merantau di ibukota. Dan Fatimah sungguh tidak mengerti.
Yang diingat Fatimah dari penjelasan suaminya itu, hanya karena lingkungan kerja disana yang tidak baik. “Tidak baik bagaimana? Bukankah yang terpenting diri kita tidak ikut terbawa buruk?” Sekali lagi Fatimah tidak mengerti, bahkan hingga saat mandi besar setelah perdebatan itu menghabiskan air satu bak pun, Fatimah tidak mengerti –padahal sangat ingin mengerti—dan setiap kali memikirkannya, Fatimah malah merasa pening.
“Abah kenapa Mak?” Fatimah tersentak, karena tanpa ia sadari anak sulungnya telah menggerak-gerakan lengannya dengan tidak sabar. Tapi Fatimah tidak menjawab, hanya tersenyum –cepat-cepat mengenyahkan segala khawatir dan bingung dirinya--, “eh Ramdan kok bangun?” Fatimah malah balas bertanya. Tapi Ramdan, anak sulunya yang beranjak dewasa itu telah mengerti, dan dirinya tidak ingin menanyakan perihal ayahnya itu lebih jauh. “Airnya udah mendidih Mak,” Dalih Ramdan mengingatkan.
***
Malam kian larut, tapi sedikitpun Aldi tidak menyadarinya. Kadang ia berteriak dan tertawa-tawa, kadang terdiam dengan takzim demi mendengar segala uraian seorang lelaki paruh baya yang baru dikenalnya itu.

>>> 
Untuk cerita selanjutnya, mohon doakan bukunya segera terbit ya?
        Terima kasih  ^_^

Minggu, 15 Oktober 2017

Panggilan Gila [4]

4. Orang Gila

   Aldi hanya dapat menarik napas panjang, ketika merasakan sikap istrinya yang menjadi lebih dingin akhir-akhir ini. Pagi ini, Fatimah tidak banyak berkata-kata setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya. Tapi Aldi berusaha tidak peduli, lalu dengan segera membenamkan diri ketengah kebun –memulai membersihkan anak rumput yang mulai banyak tumbuh di berbagai tempat—berusaha mendiamkan hatinya yang terasa perih. “Oh Fatimah, bagaimana Abang menjelaskan semuanya padamu?” Batinnya berbisik sendiri, seraya memadangi istrinya yang kini memunggunginya dan berlalu, hingga menghilang di balik pintu dapur. Sekarang Aldi mulai berkonsentrasi dengan semua tunas-tunas cabe asuhannya, dengan kembang kempis dadanya, bergemuruh sendiri.

   Hingga pagi terus beranjak, sinar mentari tidak juga muncul menerangi bumi. Kawanan awan merapat dan buram, terus saja menadahi menadahi sinar mentari untuknya sendiri, tanpa menyisakan celah untuk kehidupan dibawahnya –yang tetap menggigil, dalam sisa sunyi udara semalam--. Tapi belum lama Aldi mendongak kelangit, kedua telinganya kini mendengar suara teriakan istrinya, yang memanggilnya untuk segera datang ke teras depan rumah. Aldi sejenak bersyukur bahwa akhirnya kembali berkata-kata terhadapnya, meski tidak pernah merasa nyaman dengan segala suara semacam itu. Naif, tapi biarlah.

“Waalaikum salam, oh Pak RT?” Aldi segera menyambut kedua tangan yang telah terjulur, sejak lelaki itu mengucap salam kembali di muka pintu.

“Mari masuk pak!”

“Oh nggak usah Pak Aldi, terima kasih, nggak lama kok, sekedar memberi kabar penting,”

“Oh, kabar apa Pak?”

“Begini Pak Aldi, tau Rumah Sakit Jiwa yang berdiri di RW sebelah kan?”

“Lho, memang kenapa dengan Rumah Sakit Jiwa itu Pak?”

“Begini Pak, saya dapat kabar dan himbauan dari mereka, bahwa ada pasien mereka yang kabur subuh kemarin, nah! Jika saja Pak Aldi lihat pasien dengan ciri-ciri sebagaimana foto ini, tolong! segera beritahukan pada saya secepatnya, jangan bertindak sendiri! karena kata mereka pasien tersebut sangat berbahaya” Dengan memandang nanar, lelaki renta itu menyodorkan secarik foto kepada Aldi. Kedua lelaki itu terdiam sesaat, lalu Pak RT memecahkan ketermenungan Aldi saat undur diri.
***
Sehari, dua hari, hingga hampir seminggu, Fatimah masih terlihat enggan berbicara dengan suaminya. Namun Aldi tidak peduli sedikitpun, dan merasa tidak mesti meminta maaf, karena dianggapnya wibawa selaku sebagai kepala rumah tangga harus kukuh berdiri --kaya, mapun miskin--. Segera saja, rumahnya yang dirasakannya lebih sebagai tempat pelarian dari realitas lingkungan di kampungnya itu, tidak lain menjadi bak neraka.

Aldi kini hilang selera makan dan tidurnya di waktu malam. Terjaga di sepanjnag malam, lalu teridur menjelang pagi, sedang otaknya terus berputar kian cepat, bak gangsing yang tidak jelas pangkal dan ujungnya. Kecuali mereguk kopi hitam dan dan menyesap tembakau, yang justru dirasakannya kian berasa nikmat. Sejak Pak RT datang membawa kabar dari Rumah Sakit Jiwa, bertambahlah beban pikirnya. Seraya mengepulkan asap tembakaunya ke angkasa, Aldi terus saja memandangi wajah pasien Rumah Sakit Jiwa ditangannya itu, “foto ini benar-benar telah mempengaruhi manusia sekampung’’ bisiknya, “tapi mengapa terpengaruh?” otak Aldi terus menderu.

Aldi pikir, Pak RT memang telah sukses  mempengaruhi masyarakat. Pemberitahuan beliau, perihal pasien Rumah Sakit Jiwa yang kabur itu telah membuat masyarakat resah. Ibu-ibu grup rumpi telah mengganti topik kesehariannya dengan berbagai kemungkinan mengerikan jika orang gila itu ngamuk-ngamuk, hingga mewabah dengah cepat di hampir seluruh desa. Kini para penduduk tidur lebih awal, jalan-jalan kampung kian sepi. Sementara otaknya terus berpikir, mulut Aldi dengan tenang mengepulkan kembali asap tembakau, dan kembali mereguk kopi hitam pahitnya.

“Ah ya! Ini memang bisa dijual!” Aldi meneriaki bathinnya sendiri, seketika bakat alam seorang otak bisnis segera bergeletar, menuntutnya lebih jauh. Apalagi diingatnya Fatimah telah lebih giat mencari orderan jahit, selain kian mendiamkan dirinya. Meski Aldi seorang lelaki penyuka wanita pendiam, tapi dirinya benar-benar tidak suka didiamkan. Tiba-tiba, rasa kekalahan kembali menguasai, kembali mendera bathin seorang ayah dengan tiga anak itu, membuatnya merutuki dirinya sendiri. “Laki-laki tidak boleh kalah oleh perempuan!” Batinnya meronta. Lalu kian kecut, saat kopi yang direguknya sebatas ampas, hingga dengan kesal ia menyesap terlalu dalam selinting tembakau tembakaunya, hingga batuk-batuk.

“HAHA! Barangkali, sekarang ini memang ada orang gila bisa berpikir..”
Sebuah suara ringkih tiba-tiba memecah kesunyian, membuat Aldi terlonjak dari duduknya, ketika dilihatnya seorang lelaki tambun telah dekat dihadapannya dengan tergelak. Pandangannya tajam, pakaiannya lusuh, tapi Aldi tidak menyadari semua itu. Emosinya telah mengambil alih lebih dulu, demi mendengar sebuah bahasa yang dirasakan hanya sebuah ejekan terhadapnya. “Apa maksudmu?!” Aldi membentak marah. Amarah telah membuatnya lupa, bahwa lelaki dihadapannya itu bukanlah salah satu penduduk tempatnya tinggal. Lelaki itu begitu kumal, tertawa seperti orang gila, membiarkan ramputnya tidak tersisir sebagaimanamestinya.

“Hehe anda begitu pemarah, maaf, maaf, HAHA!” Lelaki itu tidak menghiraukan ketersinggungan Aldi. Tapi ia tidak berhenti disitu, lalu dengan langkah perlahan, ia makin mendekat, berbisik langsung ke wajah Aldi seraya melotot, “Anda gila, menyesap asap yang membuat batuk, semakin batuk, semakin anda hisap.. bukankah, itu perbuatan gila?”

#panggilangila

Ar, 14 Okt. 17

Jumat, 13 Oktober 2017

Panggilan Gila [3]

3. Gerah Musim Penghujan
Hujan baru saja berlalu. Ketika mentari terbenam bersama cahaya benderangnya, segeralah malam mengambil alih bersama rembulan dan gemintangnya. Awan-awan mendung segera tersapu angin, hanya sekian menit saja mendung gelap menurunkan airnya. Musim penghujan kali ini membuat Aldi resah. Karena musim kali ini, dirasakannya tidak menentu –sebagaimana musim penghujan tahun lalu—yang biasanya menderas hampir sepanjang siang, atau bahkan hingga malam.
Aldi termenung, benar-benar tak habis pikir, tentang keanehan musim penghujan kali ini. Namun Fatimah –yang kini tengah duduk disebelahnya—jauh lebih heran dengan sifat suaminya yang jadi senang menyendiri. Bahkan terkesan asosial, pikir Fatimah. Mnurutnya, kini Aldi bukan lagi seperti lelaki yang dikenal sebelumnya, bukan lagi lelaki yang mempunyai langkah panjang, yang senang bergaul dengan pekerjaannya yang dinamis,dengan segala tantangannya. Bahkan lelaki disampingnya itu terlihat seperti seorang prajurit yang kalah dan lari dari medan perang, karena takut dan trauma. Fatimah ingin mengutarakan segala keganjilan pandangannya, namun hatinya yang perasa terlalu takut untuk menyinggung perasaan lelaki yang telah menjadi suaminya itu. Seiring pertanyaan besar yang kian bertambah dalam dirinya, ia sekuat tenaga menguatkan hati untuk tetap diam. Fatimah jadi membatin sendiri.
“Fatin lihat! Tunas-tunas cabe itu begitu segar meski dengan sesingkat hujan sare tadi,” Aldi berseru, berusaha membesarkan hatinya sendiri, hingga membuyarkan ketermenungan Fatimah di sampingnya. Istrinya disampingnya itu segera menoleh, memperhatikan wajah Aldi yang sebenarnya tidak menoleh sejak memanggilnya. Fatimah menarik napas panjang, lalu kembali melemparkan pandang ke arah yang tengah dipandangi dipandangi suaminya.
“Iya Bang, alhamdulillah,” Jawab Fatimah datar --nyaris selirih bisikan untuk dirinya sendiri--, namun Aldi masih dapat mendengarnya dengan jelas, hingga membuat lelaki itu menoleh.
“Ada apa?” Aldi langsung memastikan. Tangannya langsung membuang lintingan tembakau yang hampir menyengat jari-jemari dengan bara di ujungnya. Lalu dengan segera lelaki itu merapatkan diri ke arah istrinya yang masih termenung.
“Nggak ada apa-apa Bang,” Jawab Fatimah cepat, lalu kembali melemparkan pandangannya ke tengah kebun, setelah sebelumnya membalas tatapan suaminya dengan tersenyum. Tapi Aldi menangkap wajah istrinya itu seperti acuh tak acuh. Sepasang suami istri kini saling mendiamkan, seakan mengijinkan segala suara-suara malam mengambil alih. Tapi Aldi tidak membiarkannya lama.
“Fatim! Malam kian larut, yuk masuk!?” Seketika Aldi memecah keheningan  dengan istrinya  seraya berdiri, sedang tangan kanannya telah memegangi pergelangan kiri Fatimah dengan hangat. Demi melihat suatu isyarat di wajah suaminya, fatimah segera ikut berdiri hingga memasuki rumah. Setelah mengantar Fatimah ke dalam kamar, Aldi segera mengunci segala pintu dan jendela, mematikan segala lampu yang berpijar –kecuali teras dan kamar mandi--. Aldi pikir, kini istrinya mempunyai hajat yang--dengan kebanyakan pembawaan khas seorang wanita— akan terlalu malu ----jika dirinya harus berbicara lebih dulu--.
                ***
                Fatimah melihat jarum jam di dinding masih berjarak setengah jam lagi menuju adzan subuh. Namun dirinya segera melangkah memasuki jamban, guna melarutkan letih tubuhnya yang begitu sangat. Terlebih pikirannya. Segera ia meraih air bak dengan gayung, setelah pintu kamar mandi ia kunci dari dalam.
                “Kamu benar Fatimah! Abang memang melarikan diri dengan berkebun, lalu mau apa?!” Terpejam mata fatimah demi teringat nada keras suaminya beberapa jam sbelumnya, lalu segera ia mengguyurkan segayung air di tangan ke atas kepalanya.
                “Nggak Bang, Fatim nggak nggak kenal Abang yang seperti itu, Abang biasanya tangguh dan menyukai tantangan pekerjaan yang ada,”
                “Entahlah Fatim, Abang merasa sangat rapuh, dan pekerjaan disana bukan tantangan yang harus dihadapi, tapi suasana yang harus dijauhi,”.
                “Bagaimana bisa Abang merasa rapuh? Ingat Bang, kita telah dititipi anak-anak yang segera beranjak dewasa, yang biaya pendidikan dan kebutuhannya nya kain besar! kita tidak bisa terus sepeti ini Bang?!”
                “Cukup fatimah! Abang mohon!”
                Meski telah begayung-gayung air membasahi tubuhnya, air mata Fatimah kian menderas, terus terngiang pertengkaran semalam meski berdebat sengit selirih bisik angin, terlebih saat mengingat wajah dan matanya suaminya saat memohon. Fatimah benar-benar melihat jiwa suaminya itu kini begitu menyedihkan. “Raga perkasa pun jadi begitu menyedihkan, jika jiwa telah kalah,” Fatimah membatin dengan terus mengguyurkan air hingga bak penampungan didekatnya kering.
                .
#panggilangila

Ar, 12 Okt. 17

Kamis, 05 Oktober 2017

Panggilan Gila [2]

2. sepi selimut malam seorang istri

Tanah di sepetak kecil milik Aldi kini terlihat menghitam menunggui malam, bekerlipan ujung-ujung tepi bagian atasnya, bergelombang permukaannya, setelah terkoyak ujung cangkul penghujung siang. Tanah warisan turun temurun itu kini terlihat bekerlipan menadah sinar rembulan, setelah sebelumnya terguyur lentik gerimis di saat senja.

Fatimah hanya terdiam sejenak, melihat Aldi di sebalik jendela dapur. Suaminya itu masih juga terduduk di ujung kebun, dengan hanya berlindung selembar sarung untuk melawan dinginnya malam di tepi lembah. Suaminya itu terlihat tidak mengantuk sedikitpun. Dengan tenang menyeruput kopi hitam yang hampir habis, sambil sesekali mengepulkan asal tembakau rajangan yang di belinya langsung dari pasar. Fatimah melihat mata suaminya itu tengah tajam memandang jauh ke tepi kebun yang kelam, dirinya lalu menuju kamar seorang diri, karena mafhum, disaat seperti itu, Aldi tidak bisa di ganggu. “Benarkah suamiku itu seorang lelaki aneh sebagaimana omongan para tetangga?” hatinya sedikit khawatir dengan kebiasaan suaminya akhir-akhir ini, tapi cepat-cepat Fatimah menepis pikirannya.

“Ah pasti hanya aku saja yang tidak cukup pintar untuk memahami logika seorang lelaki,” batinnya kembali berbisik dengan tersenyum, lalu Fatimah segera berbaring di ranjang kayu.

Aldi sebenarnya seorang lelaki yang ceria dan mudah bergaul, tapi sejak kepulangannya dari kerja proyek di jakarta segala sikapnya itu berubah. Kini lelaki itu jadi lebih senang menyendiri di kebun, menyibukan diri dengan segala pekerjaan bercocok tanam, meski keuntungan dari pekerjaan barunya itu jauh lebih rendah beberapa kali lipat dibanding pekerjaannya saat merantau ke Jakarta. Entah apa yang terjadi sebenarnya, Fatimah sendiri tidak berani untuk coba bertanya. Selama suaminya mau bekerja, telah menjadi tekadnya untuk terus mengabdikan dirinya sebagai istri yang baik bagi suaminya.

Hingga jam demi jam berlalu, Fatimah hanya berguling-guling resah seorang diri. Karena matanya sendiri enggan terpejam, dirinya segera bangkit kembali menuju jamban untuk mengambil air wudhu. Pikirnya, sekali-kali tak apalah memperbanyak shalat sunnat setelah shalat yang wajib, memohon petunjuk dan jalan keluar untuk segala kesulitan keluarganya, berdoa juga untuk suaminya untuk di beri pencerahan jika memang ada permasalahan besar yang tidak berani suaminya utarakan duduk perkaranya. Saat melintas ke dapur yang menjorok ke kebun di belakang rumahnya, matanya masih melihat Aldi tetap terduduk memeluk lutut dengan selubung kain sarungnya, masih terpekur sendiri. Fatimah masih segan menegur suaminya dalam keadaan seperti itu, karena dipikirnya; ada saatnya lelaki ingin sendiri untuk menyelesaikan masalahnya, dan setelah suatu ide penyelesaian itu muncul, ia pasti akan segera datang untuk membicarakannya, lalu akan kembali berlindung mendekap dirinya dengan hangat, sebagaimana lazimnya seorang suami terhadap istri, sebagaimana lazimnya seorang lelaki. Biasanya Aldi memang seperti itu, “tapi tidak untuk malam ini,” sesal Fatimah dalam hati. Lalu Fatimah kembali menuju kamar dan membaringkan dirinya seorang diri, meski tanpa dekapan hangat Aldi disampingnya.

***

.Sejak suaminya pulang dari kerja proyek merantau di ibu kota, Fatimah merasakan sehari-harinya bertambah pelik. Bagaimana tidak pelik? Sekarang penghasilan suaminya tidak lagi pasti setiap bulan, tapi harus menunggu masa panen. Sedang kebutuhan diri dan keluarganya itu menderas setiap hari. Untuk itulah, diam-diam Fatimah mencari pekerjaan harian untuk kebutuhan keluarganya. Meski Aldi tidak mengijinkannya untuk bekerja, tapi nalurinya sebagai ibu tidak bisa melihat ke tiga anaknya hanya makan nasi dengan garam, apalagi sekarang masa tumbuh kembang anak yang sangat menentukan. Sejak saat itulah, Aldi dirasakannya kian dingin, hingga hampir setiap malam menghabiskan waktunya duduk-duduk d tepi kebun dengan kopi dan temabakaunya, dengan dekapan kain sarung usangnya, seakan menunggu tanam-tanamannya itu tumbuh-kembang langsung di depan matanya.

“Seharusnya kau mengerti bagaimana perasaanku Fatim, apa kata orang tentang Abang bila membiarkan istrinya menjadi buruh cuci untuk makan sehari-hari? Terlebih keluargamu itu yang bergengsi tinggi sebagai keterununan seorang raden, darah biru kaum ningrat!” Saat itu Aldi membentaknya karena pulang mendapati dirinya tidak berada di rumah seperti biasanya, dan Fatimah hanya dapat merunduk mendengarnya segara kemarahan suaminya. Fatimah memang seorang wanita khas desa yang lebih suka mengalah meski dirinya mempunya alasan kuat.

“Jika kerja sampingan di rumah gimana Bang? Menjahit baju misalnya?” Saat amarah Aldi mereda, dan suaminya itu telah terlihat asyik kembali dengan sepetak kebunnya di belakang rumah, Fatimah kembali memberanikan diri meminta ijin kepada suaminya. Aldi tidak membalas, hanya tersenyum mengangguk setuju. Menjahit mungkin belum menghasilkan pundi-pundi rupiah setiap hari, tapi Fatimah bepikir itu jauh lebih baik dari pada hanya menuntut suami di luar kuasanya dengan hanya bertopang dagu, apalagi mengeluh.

Maka dibelilah, sebuah mesin jahit bekas dari tetangga sebelah rumah dengan uang tabungan yang masih tersisa. Fatimah memang selalu mengepal kuat dalam urusan uang. Sikap pelit itu ternyata sangat membantu di saat seperti ini, “disaat roda kehidupan sedang berada di bawah,” jika para orang tua bilang, dan Fatimah yakin, saat roda kehidupan itu akan kembali berada di atas. Fatimah pikir, suaminya itu pasti akan kembali menghidupkan malam-malam mereka berdua yang kini terasa dingin, malam yang hangat berselimut dekap penuh cinta dari seorang Aldi sebagaimana sebelumnya, saat sebelum suaminya itu merantau ke ibu kota untuk pekerjaan proyek. Fatimah terus meyakinkan dalam hati, lalu bibirnya kini tersenyum; membayangkan masa depan cerah yang akan mengembalikan segala sikap suaminya yang kini berubah.

#panggilangila
Ar, 5 okt. 17

Panggilan Gila [1]


1. Kemilau di kemendung langit

Kemendung langit siang ini hanya mendampratkan air sekejap saja, hujan tidak menderas sebagaimana yang di harapakan. Aldi menghela panjang ketika sebelumnya berlari untuk berlindung disisi naungan, namun hatinya mencelos, karena kebun yang diimpikannya akan tersejuki guyuran hujan di awal penghujan ini tetap kering dan keras. Kepalanya mendongak kelangit dengan cemas, menyesapi pikirannya sendiri. Bukan lahan perkebunannya yang kian kerontang yang ia cemaskan, atau pohon-pohon cabe yang terancam gagal panen. Bukan itu, pikirannya telah melangkah begitu jauh, sangat jauh, hingga para tetangganya tidak ada yang mengerti jalan pikiran dan arah pembicaraannya. Bahkan menganggapnya gila, tapi ia tidak ingin peduli. Matahari kini hampir tepat berada di atas ubun-ubun, hari kian terik, teduhnya awanan mendung sebelumnya menyingkir, cangkul-menjacangkul terhenti, lalu seorang melangkah pelan ke tepi kebun.

“Suatu saat, hasil tanah akan menjadi produk yang paling diburu, karena semua orang pada akhirnya selalu ingin yang asli untuk perutnya dan tidak akan ada yang ingin meracuni dirinya sendiri dengan pangan rekayasa,” Ia berkata sendiri dipinggiran sepetak kebun yang tidak terlalu luas. Dengan bernaung di bawah pohon mangga yang teduk, ia terduduk sendiri untuk melepas lelah. Tanah bersemu merah itu membuat pinggangnya pegal, peluh telah lebh dulu memandikannya, hingga tenaganya terkuras habis. Sejenak angin lembut membuatnya segar, di peluk ketedukan dedaunan membuatnya sedingit terhenyak lelap. Hingga sebuah suara memecah kantuk dadakannya itu,

“mau di bikinin kopi lagi?”.

Seketika ia menoleh ke asal sumber suara, kini bibirnya tersenyum ringan, berseri, ketika dilihatnya wanita yang menurutnya paling cantik didunia itu kini mendekat, dengan senampan pisang goreng.

“HAHH?! Mau di biniin lagi?” Wajahnya sejenak melogo, lalu dengan senyum nakal memasang mimik gaya orang betawi, menunggu reaksi wanita yang kini ikut terduduk di sebelahnya.

“Dih! Abang mikirnya kesitu terus!?” Seketika Istrinya melotot. Setelah meletakan dengan kesal senampan pisang goreng di tangan, wanita itu segera membuang muka membuang muka dengan cemberut, tapi tidak beranjak pergi.

“Hehe.. becanda Neng,” Dengan tergelak, kini ia kembali dengan gaya bicara suku aslinya sendiri, Sunda.

“Neng nggak suka ah abang becanda kek gitu lagi!” Bibirnya mengendur, tidak terlipat sekaku sebelumnya, wajah cantik seputih pualam itu menatap serius, sayu. Lembut menelisik lelaki di sbelahnya yang kini telah menjadi suaminya.

“Iya, iya Neng.. maaf.” Ia masih tersenyum membalas menatap. Di matanya wanita di sebelahnya itu tidak juga membuatnya jemu, bahkan setelah hidup bersama selama sebelas tahun sejak usia pernikahannya itu. Disaat berdua seperti ini, sepasang suami istri itu merasa kembali menjadi pasangan anak baru gede, meski telah mengurus tiga buah hati yang ketiganya kini sedang belajar di sekolah pendidikan dasar.

“Kalo nambah kebun bibit gimana?”

“Nah itu boleh bang, bagus malah, ntar neng lebih leluasa belanja buat kebutuhan abang sendiri, nggak pusing ngatur keungan.. karena hasil panen pasti nambah juga” Dengan berseri, wajahnya kian melembut, kerut-keriput halus di sekitar pipi dan ujung mata kini menmpakkan diri dengan samar.

“Kebun bibit manusia?”

“Tuh kan.. Abang mikir nggak sih? Baru punya istri satu aja dah susah begini, apalagi punya dua abang..”

“Kan dengan gotong royong semua beban akan lebih ringan, dan semakin banyak yang menggotong, maka semakin ringan bebannya,”

“Emang ada yang mau di ajak susah?”

“Nah Neng sendiri kan buktinya?”

“Ini nasib Bang, karena dah kejadian. Dah lah Bang, cukup Neng aja yang susah jadi istri Abang, nggak papa Neng udah bisa iklash sekarang,”

“Oh kalo Abang kaya berarti boleh dong?”

“Serah ah! Pusing Neng dengan jalan mikir Abang!” Istrinya sewot, segera beranjak ke dapur rumah yang tidak jauh dari kebun tempatnya mengolah lahan. Semakin dipikir, jalan pikir istrinya semakin tidak dimengertinya, karena dirinya yakin konsep gotong royong itu dapat diterapkan pada segala hal, termasuk tanggungan kemiskinanya.

#panggilangila
Ar, 3 Okt. 17

Rabu, 04 Oktober 2017

Kerlip-kerlip Harapan [17]

17. Belah Latah Patah Patah

Ardhi tertegun selalu, setiap kali ia memasuki mesjid. Nuansa dan rasa terhadap diri, seperti ditiupkan dengan bahan dan cara berbeda, unik, eksklusif, dan pas dengan apa yang diingini jiwa dan raga itu sendiri. Bila itu sebuah persuafif disiplin ilmu, ilmu apakah hingga seutama itu? Bila itu sekedar persuasif adat dan budaya, budaya apakah hingga menyelaras setiap manusia?. Mustahil tiada cela, jika syariat sebatas tata dan krama yang dirumuskan manusia: sebagaimana tesis para pemikir dunia, yang selalu berujung antitesis hingga dialeksis; lalu memunculkan tesis berikutnya, seiring perubahan perilaku kehidupan itu sendiri.

Terduduk, kaku jasad Ardhi di selepas salam. Terpekur demi merasakan nyamannya tarikan suana dalam mesjid; yang ia umpamakan serupa hujan. Dirinya menyerah akan kuat dan melimpahnya kenikmatan jiwa, yang meresap meneduhkan, hingga ke nalar maupun rasa. Tapi entah perasaan apakah ini, jika memang tertangkap oleh indra perasa. Dan entah pemahaman apa, jika pun ini sebatas tenadah pemikiran. “Ah entahlah,” Batin Ardhi dalam posisi duduk bersila, dirinya sungguh tidak bisa menyebutkan pasti, tentang apa yang dirasainya. Ia hanya mampu menyesap, dan terus menyesap; akan kenikmatan yang ia anggap oase paling nyata di rimba dunia. Hingga terlupa urusannya di dunia; yang berisi kecemburuan, kekecewaan, impian, bahkan hak-hak dan kewajibannya hidup di dunia.

“Nampaknya Ujang* ini bukan orang sini ya?” Sebuah suara bijak seketika membuyarkan keterpekuran Ardhi, membuat segala pikiran dan perasaan abstrak di dalam dirinya sirna. Sebuah kekuatan memaksanya kembali menapaki rasionalitas dunia, atas kehadiran seorang tua yang menyapanya kini.

“Oh, iya pak,” Jawab Ardhi singkat seraya mengangguk dan tersenyum. Dilihatnya seorang tua yang tidak dikenalnya itu kini ikut duduk di sebelah kanan Ardhi dengan rapat. Namun pemilik wajah di sampingnya itu tidak asing di mata Ardhi. Bahkan dirinya merasa hangat dan dekat dengan kehadirannya, seakan jalinan keintiman sepasang sahabat yang tertutup oleh suatu perpisahan di masa lalu. Lalu Ardhi segera menyambut ke dua tangan yang terjulur itu untuk berjabat, tangan dari pemilik wajah teduh, nan berseri.

“Ujang datang darimana?”
“Dari Kota Baru Pak,”
“Dari kota baru?
“Iya Pak,”
“Ah Kota Baru, kota yang mungkin telah melupakan ketakutan Kota Lama..”
“Maksudnya?” Ardhi tidak mengerti, menatapkan matanya lebih lekat.
“Kerap segala harapan itu takkan mewujud, hanya karena melupakan suatu ketakutan yang menjadi alasannya Ujang* sendiri untuk berharap..”
***

Bunga indah nan merekah itu seketika layu, tercerabut begitu saja hingga akar begitu mudah. Di saat sebuah tangan dengan kasar merenggutnya dari dekapan tanah nan ramah, hangat dan nyaman tempatnya berpijak itu kini luruh tak bersisa, tertiup ditiup angin, mengambang di udara, yang terasa hanya sesak-sakitnya sebuah cengkraman segenggam kekasaran, hingga menghancurkan arti dirinya sebagai sebuah bunga yang mulai mekar dan mengharum. Airin masih terkesiap dengan kehadiran seorang lelaki yang telah begitu dikenalinya itu, lelaki yang di ketahui lebih sebagai eksekutor pembunuh suruhannya Momi. Setelah mendorongnya hingga terjengkang, Airin kian bertambah panik dan takut ketika dengan cepat sebuah tangan lebar lelaki itu segera mencekiknya hingga tidak bisa menjerit. Pintu telah di tutupnya, dan lelaki itu dapat berbuat apa saja terhadap Airin.

#kerlip-kerlip harapan
Ar, 1 okt 2017

Kerlip-kerlip Harapan [16]

16. Ratap Redup Kenyataan

Wajah-wajah menelisik, telik, penuh curiga, ketika dirinya perlahan melajukan sepeda motornya ke dalam gang sebuah perkampungan kota lama selepas gerimis. Banyak para pemuda bergerombol sekedar duduk-duduk di pinggir-pinggir jalan yang gang yang sempit, membuat lelaki itu melambat, seraya membungkuk permisi. Namun tidak ada seorang pun yang membalas salam, selain menatap tajam tanpa suara. Ardhi berpikir sebegitu kerasnya bertahan hidup diperkotaan, hingga memaklumi jika para penduduknya mengukir muram penuh curiga, yang hampir memahat wajah sebagian besar para penduduknya, rumah-rumah sempit yang berhimpitan mungkin turut menyesakinya pula. Namun ia terus coba memaksa berseri setiap melewati sekelompok orang itu saat berpapasan, kali ini Ardhi tidak lagi mengucap salam ataupun permisi, karena pikir Ardhi norma kesopanan tidak berlaku disini. “Apa mata uang yang berlaku disini selain kekayaan?” Sambutnya dalam hati. Kadang sepeda motor yang memapasi dari arah berlawanan ikut menyesaki, memaksa ia makin menepikan kendaraan rampingnya itu dengan kaki berjinjit, menghindar keciprak air yang menggenang terlindas roda-rodanya. Hingga senja nan berawan kian meredup, sayup-sayup puji-pujian pada Sang Pencipta terdengar melagu memenuhi tiap penjuru, meredam segala hiruk pikuk cekikikkan para pemuda yang telah dilaluinya, juga celoteh ibu-ibu yang sempat ia dengar tengah bergosip akan urusan yang jauh dari kepentingan dirinya sendiri; seperti kehidupan glamor para artis, kisah haru tokoh fiksi sinetron, ataupun kata-kata humor bersemi cabul tentang para lelaki di rumahnya. Ardhi ingin mempercepat putaran kedua roda sepeda motornya, tapi tidak bisa.

Lagi-lagi Ardhi tidak langsung pulang menuju rumahnya sendiri. Sejak Airin mengabarinya untuk berhenti bekerja di losmen merah, pemuda itu langsung berpikir untuk terus mendukungnya. Meski tidak memahami jelas, apa yang melandasi Airin untuk mengambil langkah besar itu. Hati Ardhi yang rapuh seakan terpana, cemburu, berpikir-pikir, “bagaimana wanita itu mendapat gairah positif dalam hidup?” Airin memang telah mengakui segalanya, mengaku cukup lama hidup di lembah hitam protitusi. Lalu dirinya kembali mengingat pesan tempo hari yang ia terima sendiri melalui ponselnya,
[“Bagaimanapun aku tetap perempuan Dhi, yang kelak ingin menjadi seorang ibu baik-baik bagi anak-anaknya,”
--Ardhi mengingat lagi bagaimana Airin mengirimkan pesan cukup panjang, mengapa ia mengutarakan semua harapan itu pada dirinya? Lelaki yang belum lama dikenalnya? Ah mungkin ia tidak berani untuk pulang ke kampung halaman orang tuanya, karena lain hal sebab yang tidak ku ketahui bagiamana semua itu, dan ia telah bulat untuk memastikan sendiri kebenarannya. Hingga Adzan magrib berkumandang, pikiran itu baru tersita untuk mencari mushola, “semoga tidak terlalu malam untuk bertemu,” Batinnya berbisik. Lalu kedua matanya kembali melihat alamat lengkap tempat tinggal Airin yang baru kemarin ia terima di layar pesan ponsel, “harusnya sebentar lagi sampai,” batinnya kembali berbisik.
***

Malam bermula, hatinya terasa mekar sejak mendapati balasan pesan dari Ardhi. Dirinya makin merasa yakin bahwa Ardhi menyimpan hati untuknya, yang terlihat dari pandangan matanya, dari senyum canggungnya, dari nasehat yang kakunya, juga dari bisikan hatinya sendiri yang kian hari makin merasakan rindu akan kata-katanya; meski tidak sepenuhnya ia mengerti maksudnya, tapi ia merasa bahagia saat laki-laki itu berkata-kata padanya. Diam-diam hatinya berharap lelaki itu mau menemani sisa hidupnya, hingga kalimat dari lelaki itu dapat dihafalnya dengan jelas, “perempuan boleh lebih dulu menawarkan diri untuk dinikahi, karena itu suatu urusan ibadah, dan itu berpahala, karena jika kita menawarkan sesuatu keburukan itu dosa,”. Airin tersenyum sendiri, meski ia sendiri lupa; bagaimana hingga dirinya membicarakan berbagai hal tentang pernikan lebih jauh dengan Ardhi.

“TOK TOK TOK” 
Terdengar ketukan singkat didepan pintu kontrakannya. Mendengarnya, Airin segera melipat mukena yang ia kenakan, lalu segera merapihkan pakaiannya untuk membuka pintu. Pasti Ardhi, pikirnya. Airin dengan cepat beranjak setelah cepat-cepat menjulurkan jilbab dan kerudung yang belum lama ia beli.

“Ah Airin, ternyata benar kau tinggal disini,” Airin terlonjak demi dilihatnya siapa yang telah berdiri setelah membuka pintu. Segera ia tutup kembali, namun tidak bisa. Tangan itu telah lebih dulu mendorongnya ke dalam petak kontrakan dengan keras. Airin terjengkang, seketika saja ia merasa takut hingga tidak berteriak. Jiwanya terhenyak, mulut dan kedua mata dirasa kaku, merasakan kejadian terburuk akan segera menimpa. Seketika ketakutan memenuhi Airin. Tidak ada yang menolong Airin, setiap orang yang hilir mudik di depan pintu tak acuh kecuali menoleh dengan bergidik; melihat lelaki tegap itu masuk dan dengan cepat menutup pintu.
***

#kerlip-kerlip harapan
Ar, 29 Sep. 17

Kerlip-kerlip harapan [15]

15. Kambing Hitam

Musim kemarau akhirnya pecah, di sore ini, mendung mengguyurkan airnya, menderas seketika, membasahi jalanan yang padat merayap oleh tumpahan para pekerja yang mengakhiri jam-jam kerjanya hampir berbarengan. Namun tidak lama, seakan tetesan dari awan mendung itu sekedar mewarta saja, bahwa awal musim penghujan di mulai sejak penghabisan siang ini.

Ardhi meminggirkan sepeda motornya di bahu jalan, di sebuah kios kopi, berharap kemacetan sedikit melengang. Selalu saja segan untuk kembali pulang. Setelah memesan segelas kopi hitam, sedikit menghela, coba menenangkan pikiranya yang diakuinya sendiri tidak sehat. “Keadilan, benarkah tidak mungkin dilakukan manusia?” bisiknya. Ardhi benar-benar merasa payah menepis pikiran yang dirasa bak penyakit akut itu. Makin luas matanya menyapu jalanan, malah makin membuat letih hatinya. Memandangi jajaran pertokoan mewah yang menyembunyikan pemukiman kumuh di sempit gang-gang penduduk di belakangnya, kontras sekali.

Di sebalik pemukiman kumuh itulah, Ardhi kerap menyaksikan sendiri, bagaimana teman sekolahnya dulu tidur di teras rumah yang sempit saat malamnya, karena sepetak rumah yang kecil itu di huni tiga kepala keluarga, dan para anak lelaki seperti temannya itu harus rela mengalah dalam hal tempat tidur dengan para penghuni yang perempuan. Memang kini begitu lumrah dengan kenyataan harga tanah dan rumah yang kian tidak terbeli kalangan menengah ke bawah, “dulu, orang jual tanah buat gaya-gayan beli motor, eh sekarang jual motor nggak kebeli tanah barang setumbak saja,” Teringat kembali bagimana Mang Eman pernah menceritakan perubahan nilai rumah tinggal di perkotaan. 

“Dan kamu tahu rumah-rumah yang menjorok ke sungai itu? Banyak diantara penghuni disana awalnya punya lahan tani dan kebun yang luas, tapi habis dijual buat biaya kualiah ataupun umroh, demi meningkatkan taraf hidup, tapi nyatanya? Setelah kuliah malah nganggur, cari kerja kian kemari hingga menghabiskan harta orang tua.” Sambung Mang Eman. Hingga Ardhi teringat saat itu, Mang Eman terus saja menyesapi kopi hitam yang tinggal ampas, saking gemasnya. “Dan yang lebih lucu lagi, ada yang dengan terpaksa menjual sebidang tanah yang subur air artesis ke pada pihak perusahaan air minum, air yang tadinya mencukupi kebutuhan air se-RW, setelah dijual malah ikut ngantri mengambil sedekah perusahan itu untuk sekedar kebutuhan minum. Bayangkan, denga mesin canggih mereka, cadangan hampir satu kampung di sekitarnya tersedot oelh pabrik itu?!” Kembali Mang Eman menyesapi kopi yang sebatas ampas tadi, tambah-tambah kesal saja mengisyahkan. Dan saat itu Ardhi tertawa melihatnya, sedang hati begitu miris.

“Harusnya kau banyak bersyukur!”
Pikiranya seketika beralih ke rumah di mlaam kemarin, saat ayah dengan keras mengata-ngatai saat makan malam bersama, rasanya sesak, seakan di permalukan di adik dan kakaknya sendiri, apalagi sorot-sorot mata itu dilihatnya seperti sinis, memandangi dengan jijik. Ardhi tak habis pikir, bagaimana hingga seperti itu? Apa karena bulan ini tidak ikut menyumbang sedikitpun untuk kebutuhan dapur? Apa karena dianggap paling bodoh karena pendidikannya yang tidak sarjana? “Ah iya bodoh! Aku memang bodoh, kenapa harus menghabiskan upah kerja di jalanan, “sok-so’an jadi orang dermawan sedang dirinya sendiri pas-pasan,” tutup ayahnya saat itu menasehati, hingga berlalu ke teras rumah untuk menyesapi berbatang-batang rokok hingga tengah malam. Mengingatnya Ardhi makin enggan pulang.

“BRUM! BRUMMM!” Seketika suara knalpot motor menggema keras di hadapan Ardhi, memecahkan segala lamunan hinggga membuatnya terperanjat. Matanya memicing ke arah pengendara Bandit 1000cc di hadapannya. Selidik kian selidik, pemiliknya hanya nyengir. Ardhi akhirnya menyadari, siapa pemilik motor boros berisik itu. “Melamun aja woy!” Teriaknya langsung, lalu dengan enteng Rendi membuka helm batok kulit coklatnya itu sambil tertawa.
***

“Anda sekarang benar-benar dalam masalah,”
Sebuah berat penuh tekanan meluncur cepat dari bibir hitamnya setiba Momi berjongkok ke hadapan, untuk menyuguhkan secangkir kopi black coppucino kental sebagaimana pesanannya. Tapi wanita paruh baya yang seksi nan cantik dihadapannya itu tidak langsung menjawab, malah segera merapat ke lengan kanannya dengan manja, lalu dengan seulas senyum, segera saja kepalanya menyender ke bahu bidang nan tegap seraya menyisipkan kedua tangannya melingkari pinggang, membuat dadanya sejenak mengembang, menghela, lalu segera dilepaskan dengan napas panjang, “saya serius!”.

“Saya janji, kejadian itu takkan terulang lagi,”
Momi tetap menghaluskan suaranya. Dengan wajah menyesal, ia mulai merajuk. Sedang tangannya tetap mengusap lembut, bermain-main di sekitar paha hingga melingkar ke tulang ekor, dengan mendesah, mendekatkan bibir ke daun telinga lelaki berwajah keras. Lalu Momi kembali berbisik, “saya sudah siapkan uang pengaman, atau apapun yang tuan inginkan untuk menutup kasus itu atau setidaknya aman bagi saya dan usaha kita ini,”.
“Oh harus! Usaha ini harus tetap berjalan, tentu saja,” Dengan cepat tangan kanannya meraih tengkuk Momi, mendekatkan ke mulutnya. “meski nona yang cantik terpaksa saya serahkan untuk menutup kasus ini.

“Tapi bukan saya pembunuhnya!” Momi menjauhkan wajahnya cepat, wajahnya pias, tidak dapat lagi memaksakan memanis-maniskan mukanya. Tapi lelaki itu malah seperti mengejek mendengarnya.

“HAHA! tenang saja cantik, semua bisa diatur,” Pria itu tertawa seketika, demi melihat wanita dihadapannya memandangnya seperti memelototi setan. Hingga tersenyum, kini giliran tangannya yang bermain-main di tubuh Momi, juga mendekatkan bibirnya seraya berbisik lembut, “nah, sekarang beri saya kambing hitam!”

#kerlip-kerlip harapan
Ar, 28 Sep. 17

Kerlip-kerlip Harapan [14]

14. Alas Beton Bebal Rotan

Hingga lelah menyusuri jalan-jalan perkotaan, Ratna tidak juga dapat menghilangkan perasaan gamang dalam hatinya. Sejak kematian Johan, kekasihnya itu, bukan rasa kehilangan yang ia sadari membuat perasaan jiwanya berubah, tapi rasa penat begitu menyiksa untuk terus berdiam diri di dalam losmen merah. Meski pun segala kebutuhan fisiknya terjamin di sana, tapi kini tiada seorang pun yang dapat di ajak serta untuk melarikan segala kebosanan dalam hidupnya. Tempat itu sudah tidak lagi terasa nyaman, bahkan menakutkan dengan kematian Johan yang begitu misterius, CCTV yang terpasang di setiap sudut koridornya tidak menjamin keamanan, karena pembunuhan itu justru terjadi di ruang pribadi yang tidak dipasangi CCTV.

“Adakah suatu tempat yang tenang dan nyaman di dunia yang makin bobrok ini?” Keluhnya, berpikir dunia telah terjerumus pada kegilaan yang disemarakkan, yang dipopulerkan, hingga kejahatan begitu rapih terbungkus suatu kebaikan sosial pada zahirnya. “Hah.. bahkan aku sendiri begitu menikmatinya,”. Ratna kian terpekur, merasakan asing dengan dirinya sendiri. Siang kian menerik, membuat langkah seorang perempuan muda itu sedikit limbung. Tidak ada makanan maupun air yang ia masukan kepada perutnya sejak pagi, membuat tubuh itu kini menagih hak akan asupannya. Ketika dilihatnya sauatu taman di kejauhan, segera saja ia menyambangi bangku taman yang disengajakan ada untuk berteduh. Dengan melepas napas panjang, ia segera menikmati keteduhan di payung rimunan pohon sukun, lalu menghirup udara segar dalam-dalam.

“Lihat Kak, kita dapat banyak siang ini!”
Terdengar nyaring suara seorang gadis kecil ke telinga Ratna, seketika ia menoleh, dilihatnya tidak jauh di sisi kanan telah nampak dua gadis kecil duduk menyandar ke sebuah pohon beringin yang cukup besar, mereka nampak sebaya antara yang satu dengan lainnya.

“Iya, dengan begini kita bisa makan enak di warteg,” Bocah yang satunya menimpali, cukup lama Ratna memandangi mereka berdua, hingga salah seorang menyadari tengah diamati seorang perempuan dewasa, keduanya segera beranjak pergi, menjauh.

“Alangkah lepasnya pikiran mereka,” Batin Ratna berbisik sendiri dengan iri, teringat kembali bagaimana masa kecilnya sendiri saat di kampung. Bermain dengan bebas bersama teman-teman, hingga sesekali ibunda menyusul karena bermain hingga lupa waktu, lupa makan dan melupakan segalanya, kecuali bermain bersama teman sebayanya. Ratna tersenyum sendiri mengingat ke masa silam itu, masa dimana gairah hidup terasa begitu cerah, dan mudah.

“Sekarang kau yang jadi sering melamun,” Sebuah suara tetiba membuat Ratna mendongak, dilihatnya kini telah berdiri seorang perempuan cantik berambut sebahu tengah tersenyum, menatap tajam seperti mengejak, dengan menyilangkan kedua tangan ke atas dada.

“Airin?!”
Seketika terlonjak, teman yang telah putus asa dicarinya sejak minggu terakhir kini tiba-tiba muncul di hadapan. Wajahnya kian cerah, lebih bersinar daripada saat terakhir kali berembuk di losmen merah. Hingga perempuan itu ikut duduk di samping kanannya, Airin masih belum surut dari senyumannya, begitu pun Ratna, dari keterkejutannya.

“Bagimana kabar Bos cantik kita di losmen? Apakah masih terus mencari keberadaan saya?” Airin langsung bertanya, tanpa sempat menanyakan keadaan teman dihadapannya.

“Mmm.. bagaimana jika kita ngobrolnya di Rumah Makan padang?” Ratna seketika penuh semangat, dan demi mendegarnya, Airin hanya tertawa saja
***

Momi kian gelisah sejak anak buahnya memberi tahu bahwa Johan di temukan telah meninggal di ruang pribadinya sendiri. Masih sangat diingatnya saat terakhir kali kakinya sendiri yang menginjak-nginjak lelaki malang itu, tapi tidak bermaksud membunuhnya. Ia yakin Johan hanya memar, karena dilihatnya sendiri lelaki itu masih bernapas saat dirinya hendak pergi, masih bernapas meski terkapar. Ah polisi pasti takkan mungkin mengejar, jika tidak ada yang melapor, sedang Johan sendiri tidak jelas indentitasnya.

“Mom sudah pulang?” Seketika suara menggema di seisi ruang tamu yang luas. Momi lihat, Rendi tengah berdiri memandangnya dengan tajam, “dia masih marah rupanya,” bisik Momi dalam hatinya sendiri.

“Kemana saja Rend? Mom hingga khawatir kau tidak pulang semalaman,”
Momi menyahut lembut, mengerti basa-basi dari anaknya yang sama sekali bertanya tanpa butuh jawaban. Bagaimanapun, dialah anaknya, seketika terbit kasih sayang sebagai seorang ibu terhadapanya, teringat kembali bagaimana ia mengandung dan melahirkannya dengan susah payah, buah hatinya, darah dagingnya sendiri, selalu ingin membuatnya nyaman, tidak kurang sesuatu apapun, kenyataan sungguh berbeda, nyatanya anaknya itu tidak memahami perasaan kasih sayangnya, hanya karena tidak dapat mengerti kenyataan tentang ketidak jelasan ayahnya?, “rendi malu Mom, teman disekolah selalu mengejekku sebagai anak nggak berayah,” Momi teringat kembali saat anaknya dulu selalu terbuka terhadapnya, tapi sekarang sangat berbalik jauh. Momi menatap sayu sikap anaknya yang kian tertutup dan urakan. Tapi bagaimana lagi? Semua ini sebatas cara kita bertahan hidup, tidak lebih! Dalam diam Momi terus berusaha menguatkan hatinya sendiri. Dipandanginya terus anak semata wayangnya itu hingga berlalu di balik pintu kamar, tanpa menjawabnya sepatah katapun.

“Momi, kita harus bicara!”
Seketika suara tegap bergema, tanpa salam atau permisi. Momi segera menoleh ke arah sumber suara dari pintu depan, lalu dengan cepat telunjuknya dipalangknanya di dedepan bibir, seraya mendekat. “Ada anak saya sedang istirahat di kamar, sebaiknya kita ngobrol di losmen saja,” bisiknya langsung ke telinga seorang pemuda tegap berjaket kulit hitam yang baru saja datang, lalu ia segera menarik lelaki itu garasi mobil, setelah di pastikannya Rendi benar-benar tidak melihat dirinya dan lelaki itu.

Tapi tanpa mereka ketahui, rendi menatap mereka berdua dengan tajam di balik lubang kunci. “Mom, sebenarnya siapa lelaki itu? Lelaki yang membuat kita menjadi seperti ini? apakah dia telah jahat? Jika begitu, suatu saat pasti lelaki itu akan saya serahkan lehernya sebagai kado terindah, atau apapun, demi kembalinya senyum itu, senyum yang benar-benar bersinar seperti dulu,” bisiknya. Kali ini ia membuka pintu, mengejar hingga ambang pintu, dengan terus mengikat pandang pada seorang lelaki yang sudah dihafalnya sejak setahhun terakhir itu, kini memasuki mobil Jeep hitam bersama ibunya, hingga keduanya melaju dan tersilap pagar tinggi di batas teras depan rumah.
***

“Bagaimana bisa?”
Ratna membantin sendiri, “bagaimana bisa? Kini semuanya terlihat menjijikan?” Matanya nanar memerhatikan dirinya sendiri yang segar jelita, tengah memandanginya tajam di balik cermin, yang memantulkan kecantikan tubuhnya sejak wajah hinga dada di bawah temaram anggun lampu kamarnya di losmen merah.

Hingga terbayang seketika, bagaimana perkataan Airin sejak terakhir bertemu di rumah makan sebelah barat taman kota saat itu.“Pipi ini, hingga kapan kulitnya terus kencang? Hingga tangan tegap dan kekar itu dengan senang hati mau melindunginya? Bibir ini, hingga kapan kan terus di buru oleh setiap lelaki yan datang beralaskan penat dan letih atau sekedar mengusir sepi, patah hati, bahkan akumulasi dendam yang membentuk libido tidak wajar seperti penjahat kelamin umumnya? Hingga kapan kita dapat terus menjual tubuh muda kita? Apa segala upah itu benar-baenr menjamin kehidupan kita?”

Hingga kapan Airin?
, bisiknya sendiri. Ratna tanpa sadar mulutnya bergerak sendiri sendiri.

“Hingga kapan?” Suara berat berwibawa memecahkan ketermenungan perempuan muda di hadapannya. Cukup lama dirinya menunggu sosok cantik itu melamun di depan cermin. Lalu melangkah mendekat karena tidak sabar, langsung melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Ratna dari belakang.

“Tentu saja hingga kita puas sayang,” Ratna hanya tersenyum lemah ketika lelaki itu kembali berkata dengan suara serak di dekat telinganya. Lalu tanpa berkata lagi keduanya bangkit mendekat ke ujung ranjang.

#kerlip-kerlip harapan
Ar, 27 September 2017

Kerlip-kerlip Harapan [13]

13. Terantuk Kantuk

Ardhi mengedip perih, menadah angin yang datang dengan cepat ke permuakaan wajahnya. Setelah mengantarkan Rendi pulang, dirinya harus segera meluncur ke tempat kerja, meski merasakan kantuk yang kian berat. Beruntung sempat mandi sebelumnya di Mesjid alun-alun kota, meski tidak berganti pakaian, air telah jauh menyegarkan tubuhnya, kecuali mata yang memerah dan terasa panas karena begadang semalaman.

Sepeda motornya melaju pelan, Ardhi merasakan kantuk dengan nikmatnya. Membuat bola mata sesekali meredup, namun segera terhentak saat laju motor dirasa oleng, namun sesekali terantuk kembali. Hingga ingatannya kembali ke rumah Mang Eman, dirinya menyesal sendiri, telah membuatnya marah, “dengan mengajak Airin ke kedainya? Ah kenapa harus semarah itu?” batinnya membela diri.

“TOOTTTT!”
Sebuah peringatan keras memboros dari pengguna mobil dari arah sebrang, membuat Ardhi seketika tersadar, bukannya menyadari kelalaiannya karena melamun, hatinya malah dongkol, menyalahkan yang tidak bisa disalahkan, “siapa juga yang mau menjalani kejemuan dalam hidup? Hingga enggan pulang, lalu menghabiskan waktu di jalanan, lalu bertemu Mang Eman, lalu merasa nyaman dan ingin berteman dengan Mang Eman, lalu saat mang Eman marah jemu kembali, lalu mencari teman yang diharap senyaman Mang Eman, lalu banyak begadang dengan teman hasil pencarian kenyamanan, lalu memboyong teman hasil pencarian ke rumah Mang Eman (karena tiada lagi tempat yang terpikir dapat menampung teman-teman tidak jelas selain menurut diri sendiri), lalu Mang Eman marah karena salah satu teman keluyuran malam itu adalah seorang perempuan, lalu aku melamun, lalu kenapa mesti marah-marah hey sesiapa yang mengendarai sedan mewah ?!” Dengan panjang membatin dan mendumel sekedar hatinya sendiri, napas Ardhi naik-turun menatap tajam jalanan yang sejuk dengan mata panas berwarna merah.

“Persetan dengan semua itu!” Terletup singkat dengan lirih dari mulut Ardhi, buah letupan dari suara-suara kekesalan dalam hati, setelah kekagetan yang sangat karena suara klakson panjang dari sebuah mobil mewah, kekagetan karena tersadar paksa dari lamuanannya sendiri itu, ketus meletup singkat dalam umpatan yang hanya didengar angin, namun lekat menempeli kerapuhan hatinya sendiri, hingga lupa rasa dengan nikmat yang telah bebas menghembus-hirup udara sejuk di pagi hari.

#kerlip-kerlip harapan
22 September 2017

Kerlip-kerlip Harapan [12]

12. Bunga Samar Merah Pujaan

Pola-pola benang merah dalam kehidupan terlihat begitu lirih dan rapih, indah, sekaligus misterius, membentuk suatu pola yang kokoh di satu payung hukum yang tidak dapat dirubah manusia. Seindah hubungan lalat yang mati terperosok ke dasar bunga bangkai karena lalat itu tertarik bau-bauan busuk yang menyeruak dari bunga tersebut, atau hubungan lebah madu yang lembut menghisap madu pada putik sari bunga-bunga rupawan yang harum mengundang para lebah itu singgah. Kedua jenis bunga itu berpijak pada tanah yang sama dengan karakteristik akarnya yang berbeda, sama-sama juga menyerap zat hara berguna di dalam tanah sana, namun bertahan hidup dalam kediamannya dengan cara berbeda. Lalu akankah bunga bangkai merasa iri dan berharap menjadi setangkai mawar yang indah, yang merekah harum dan tidak dikerubungi lalat-lalat penyebar kuman kecuali sang lebah yang santun dan cerdas membangun sarang dan menghasilkan madu? Tidak mungkin sebuah bunga iri, apalagi dengki terhadap bunga lainnya, pun bunga itu jauh lebih harum nan indah dipandangan mata, karena bunga bukanlah manusia yang mempunyai rasa iri dan dengki. Ratna masih tertegun dengan deskripsi dan gambar tanaman Kantong Semar dari jenis bunga bangkai yang ditampilkan perambah smartphone dalam genggamannya.

Sejak Airin tiada, Ratna perlahan kembali melarikan waktu penatnya kepada hobi masa kecilnya. Menanam tanaman taman jenis bunga-bungaan yang dapat tumbuh subur di ruang sempit menjadi pilihannya, untuk itulah ia terus menjelajah berbagai deskripsi berbagai jenis bunga di mesin pencari dari salah satu web internet, dan tanaman Kantong Semar ikut hadir dalam daftar dengan kata kunci ‘bunga’ yang ia ketik.

“Dasar mesin oon!” Sebagai penghobi bunga, Ratna bergidik saat membaca deskripsi salah satu jenis tanaman bunga bangkai tersebut. Bathinnya merasa keberatan akan hasil kerja mesin perambah web tersebut, jika bunga bangkai termasuk tanaman bunga-bungaan, karena yang ia tahu, bunga itu identik dengan keindahan dan keharuman yang dilepaskan rekahan mahkota dan putiknya di saat mekar. Pagi-pagi buta yang masih sepi disuatu losmen, seorang perempuan cantik sudah mengawalinya dengan umpatan-umpatan ghaib dari telinganya sendiri.

“TOLOOONGGG!”

Sebuah teriakan panjang seketika membuyarkan perenungan Ratna, seketika ia terlonjak dari kursi malasnya segera berlari menuju ke arah suara, “seperti suara dari ruang Momi,” bisiknya. Dengan masih berbusana tidur, Ratna segera berlari ke arah tangga naik yang langsung terhubung kelantai paling atas, dimana ruang pribadi Momi berada.

“ADA APA?!” Ratna seketika bertanya dengan bentakan spontan, sejak pertama kali melihat seorang petugas kamar hanya terik-teriak minta tolong dengan panik, berdiri kian kemari di depan mulut pintu ruang Momi seperti orang gila. Hingga tidak lama membuat para tamu VVIP yang berada dilantai yang sama dengan ruang Momi ikut berhamburan kaluar demi mendengar teriakan petugas ruanganitu.

“Itu! Itu ,lihat langsung ke dalam mbak!” Perempuan itu masih sulit berkata dengan tenang, hanya dapat menunjuk-nunjuk cepat ke dalam ruang pribadi Momi. Tidak banyak berkata lagi, Ratna segera memasukinya sendiri.

“JOHAN! TIDAAAKKK!” Kini Ratna yang mendadak lebih panik dari petugas yang ditanyainya sendiri sebelumnya, demi melihat tubuh kekasihnya tergelatak di hamparan karpet di dekat sofa dengan darah membanjir dari bagian leher. Mata kekasih Ratna itu melotot kosong dengan mulut terbuka, kaku, dengan tubuh setengah telanjang. Seketika Ratna terhuyung, lalu ambruk tak sadarkan diri.
***

“Ijinkan saya ikut Airin,” Wajah Ratna begitu pucat, meraih tangan kanan Airin yang terjuntai bebas di samping tubuhnya sendiri.

“Ikut kemana?” Airin heran dengan pernyataan temannya yang seketika itu, lalu matanya menyiratkan bertambah-tambahnya keheranan karena melihat wajah Ratna begitu pucat, dingin tanpa ekspresi seperti biasanya.

“Bawa serta aku kemana pun kamu pergi, kemana pun..” Wajah yang terlihat murung kian bertambah-tambah muramnya, begitu dingin dengan sorot mata yang tajam namun kosong tanpa binar kehidupan.

“Apa maksudmu Ratna?” Teriak Airin, namun suaranya seperi tertahan. Sementara wajah dihadapannya begitu muram memandanginya dingin, terlihat menjauh tanpa melangkah mundur, lalu raib tertelan kabut asap.

“RATNA!” Airin seketika teriak, hingga terduduk, terbangun. Dengan masih merasa panik karena mimpi, matanya kian kemari memandang berkeliling, merasa asing. Ia tertidur dengan masih mengenankan jaket longgarnya dengan penutup kepala yang menyembunyikan rambut lurusnya yang hitam sebahu.

“Ini kamar siapa?” Airin membatin, dilihatnya berbagai pernak pernik khas wanita menghiasi dinding kamar yang sempit. Ada satu rak penuh berisi buku dan novel di jajaran kanan sebelah risbang yang baru saja ia tiduril, lalu meja belajar kecil dari arah kaki yang langsung menghubungkannya ke dumia luar melalui jendela setengah badan, hingga matanya terhenti ke jajaran dinding sebelah kiri, nampak foto seorang perempuan berjilbab merah muda dengan mata sipit tengah tersenyum. Hingga ia tersadarkan sebuah suara halus saat pintu di dekat foto itu terbuka.

“Kakak sudah bangun?” Seorang perempuan yang persis sama dengan foto yang dilihat Airin kini masuk, mendekat. Airin tidak mengenalnya sama sekali, tapi bibirnya tertahan untuk terus menjawab atau bertanya.

“Kata Abah, kakak tertidur pagi tadi,” Wanita anggun itu duduk dengan berkata lirih, nampak senyumannya terasa dipaksakan. Airin masih terdiam, coba dengan cepat mengingat semuanya, hingga ia terbangun baru saja.

“Ardhi mana?” Airin langsung bertanya dengan langsung menatap wajah manis pemilik kamar.

“Oh Kak Ardhi, entahlah kak, saya pun tidak melihatnya, hanya saja tadi pagi Abah terdengar seperti marah-marah, saat setelah Kak Ardhi dan teman yang satunya memboyong kakak yang ketiduran ke kamar ini, dan tidak terlihat lagi saat saya menghampiri Abah kedepan.

“Sebenarnya ada apa kak? Kapan kalian tiba di rumah ini? nampaknya saya telah tertidur saat kalian datang,” Mata yang sipit makin menyipit, coba mengetahui apa yang terjadi sebenarnya, hingga Abahnya marah di pagi buta. Tapi Airin hanya menggeleng, hatinya mendesah karena harus kembali terpisah dengan Ardhi.

#kerlip-kerlip Harapan
21 September 2017

Kerlip-kerlip Harapan [11]

11. Sekisah Lalu.

“Ada satu kisah teman yang ingin Mang Eman ceritakan,” Seorang tua bermata sipit menghela sejenak, menyeruput kopi hitam dihadapannya dengan perlahan, mencuri pandang langsung ke tiga wajah muda mudi dihadapannya. Karena penglihatannya merabun tergerus usia, dirinya tidak menyadari ada seorang perempuan disamping Ardhi yang besembunyi di balik tutupan kupluk dan jaket longgarnya. Tanpa ragu, tanpa menanyakan asal ususl ia segera memulai kisah untuk coba mencairkan suasana keterasingan dari kedua temen Ardhi yang belum dikenalnya.

“Dahulu, ada seorang pemuda yang sangat membenci ayahnya. Ayah kandung yang tidak pernah dilihatnya langsung sejak ia menyadari menyadari keberadaannya di dunia itu, ayah yang tidak pernah membuat ibu yang sangat disayanginya itu selain menangis jika dirinya menanyakan keberadaannya, hingga anak tersebut tidak berani lagi mengungkit-ngungkit perihal ayahnya sendiri.

Suatu saat, keadaan ibunya telah begitu payah menghadapi suatu penyakit yang telah lama bersarang di tubuh perempuan itu, dan akhirnya kematian menjemput, meninggalkan anak satu-satunya seorang diri. Saat itu umur pemuda tadi hampir sebaya kalian,” Mang Eman menyeruput kopinya kembali, sambil menghela napas panjang untuk meneruskan cerita,

“Setelah berhasil mengenali wajah ayahnya dari selembar foto di dalam lemari pakaian ibunya, anak tersebut segera pergi merantau ke kota, dimana nama alamatnya tertulis jelas di balik foto tadi.

Kian hari, kian waktu, perlahan amarah pemuda itu terlupakan, ayahnya telah hilang sama sekali dari pikirannya. Selain karena disibukan aktivitas perburuhan untuk bertahan hidup, pemuda tadi juga kini telah mulai mengenal cinta, yang dengan perasaan cintanya itu bertekad untuk memperbaiki taraf hidupnya untuk dapat meminang seorang gadis yang telah lama di kenalnya. Mengubur jauh-jauh masa lalu, untuk mencapai suatu masa depan yang indah, begitulah pikiranya dengan penuh berbunga-bunga.

Suatu waktu, selepas pemuda itu pulang kerja tengah malam, matanya menangkap sosok gadis yang dicintainya tengah tertawa-tawa di rangkul seorang lelaki paruh baya di suatu taman kota yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Seketika amarahnya meledak dan langsung melabrak, tapi yang membuatnya sangat begitu marah adalah sikap gadis tersebut yang berbalik berang ke pada pemuda tadi, dan mengakui bahwa dirinya tidak lain seorang wanita panggilan karena alasan keuangan untuk melanjutkan hidup.

Seketika pemuda itu memukul lelaki hidung belang dihadapannya dengan penuh amarah, hingga lelaki itu meninggal dunia di tempat. Pemuda itu makin kalap, ditambah perempuan yang tidak lain adalah kekasihnya itu menjerit-jerit histeris makin membuatnya gelap mata hingga kedua tangannya mencekiknya hingga tidak bernapas,” Mang eman kini terdiam, kembali menyeruput kopi yang tak terasa hingga ke ujung ampasnya. Matanya memeriksa kembali ke wajah ketiga pemuda dihadapannya, namun dirinya sedikit kecewa karena ketiganya tidak terlihat mengerti.

“kalian tahu inti ceritanya?” Seorang tua selalu merasa perlu, menegaskan kembali akan apa yang dikisahkannya. Namun ketiga pemuda-pemudi yang mendengarkannya hanya menggeleng perlahan, nampak diwajah belia itu berusaha keras memahami maksud cerita dari seorang tua dihadapannya. Sedang kopi telah habis, dan malam kian menepi.
***

Masih tersenyum dan tertawa-tawa kecil, Momi masih enggan melepaskan rokok yang hampir habis ditangan kanannya. Dirinya sejenak membiarkan seorang pemuda tegap dihadapannya melancarkan serangan syahwat ke titik-titik sensitif tubuhnya. Hingga suara keras pemuda dihadapannya memecah malam di ruang kedap suara itu,

“WHAAAA!” Pemuda tegap itu seketika memegangi kepalanya dengan teriakan gaduh, mengosok-gosok cepat rambut yang menebarkan bau hangus dengan kedua tangannya, ketika perempuan cantik setengah baya menjadikan ubun-ubun lelaki tersebut tidak lebih dari asbak untuk memadamkan bara api puntung rokok di tangan Momi.

“AHAHAHAHA! Kalian lelaki emang terkutuk!” Gelak tawa Momi berubah mencadi cacian dan umpatan mengerikan, sejak pikiranya mengingat cepat akan anaknya dan mantan suaminya yang lama hilang. Amarahnya kian membuncah, lalu dengan cepat menendang berulang langsung ke wajah pemuda itu dengan hak tinggi selopnya yang runcing dan keras. Kini mengucurlah deras darah segar di kening dan pipinya, tapi Momi makin membabi, terus saja menendang ke arah wajah, dan setelah pemuda itu terjengkang, kini kakinya menjejak keras ke bagian leher, tepat di urat nadi.

“HAHAHAHA!” Momi merasakan kepuasan yang paling puncak, ketika benar-benar memastikan, bahwa dirinya telah menaklukan seorang lelaki.

#kerlip-kerlip Harapan
Ar, 21 September 2017

Kerlip-kerlip Harapan [10]

10. Mengumpat Penat

"Ikuti remaja yang baru saja keluar dari ruangan ini, segera!"
Belum juga lama seorang pria bertubuh tegap itu masuk, tapi dirinya harus kembali keluar, ketika majikannya memerintah dengan panik, lalu tanpa berkata sepatah katapun segera pergi melaksanalan perintah.

Sebagai orang nomor satu di losmen merah, seorang wanita paruh baya merasa bisa melakukan segalanya, kecuali terhadap anak kandungnya sendiri dan Airin. Momi tidak tahu apa sebenarnya yang merubah sikap kedua anak muda itu akhir-akhir ini. Harga dirinya sungguh terasa seperti dihinakan, yakni harga diri sebagai penguasa losmen merah.

Terlebih dengan Rendi, anak semata wayang yang sangat ia manjakan dan banggakan itu, telah berubah menjadi anak urakan yang setiap malam hanya menghabiskan banyak uang bersama teman-temannya, saat mengetahui profesi sebenarnya, yang telah kian lama ia tutupi dengan papan usaha ‘Penginapan Losmen Merah’, dan disaat sejumlah uang tidak dapat terpenuhi, Rendi malah berani mengancam ibunya sendiri untuk melaporkan segala rahasia terselubung Losmen Merah langsung kepada polisi.

Sedang Airin, dimata Momi tidak lebih dari seorang penghianat, karena tiba-tiba saja memutuskan untuk tidak bekerja di losmen, entahlah dia mangkal sendiri di jalanan, atau mungkin pulang ke kampung halaman Airin sendiri, yang pasti, Momi akan terus mencari hingga dapat dan menyeretnya kembali untuk bekerja bersamanya, bagaimana pun caranya.

“Tidak boleh seperti ini!” Bibir sensual itu mengumpat sendiri didalam ruang pribadinya, sebuah ruangan paling mewah yang terletak di lantai paling atas. Lalu segera wanita paruh baya itu menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Tubuh Momi seketika menyender di ujung kursi sofa polos dengan warna keemasan. Pikirannya benar-benar tidak karuan, terus saja dihantui kemungkinan kembali hidup miskin. Suatu kehidupan yang dipikirnya begitu pahit dan terhina diantara semua manusia yang pernah dikenalnya, termasuk keluarga besarnya di kampung.

Hingga berbagai pikirannya buyar ketika pintu diketuk dari luar, “masuk!” ucapnya membalas sebuah ketukan di pintu masuk ruangannya, Momi lalu bangkit terduduk. Hingga tidak lama kemudian pintu dihadapannya terbuka, menampilkan sesosok pria bertubuh atletis mengulas senyum.

“Ah kamu rupanya, sini masuk sayang!, dan kunci pintunya,” Suara Momi cepat, membalas senyum. Seluruh tubuhnya mulai menghangat terpercik syahwat, ketika mendapati mata pejantan itu kini begitu dekat ke wajah Momi. Tatapan mata pemuda itu tajam menghujam, menelanjangi setiap inci dirinya hingga lupa diri.

***

Malam kian larut, yang dengan desir-desiran kelembutan anginnya membawa hawa dingin begitu apik, membuat Airin makin merapatkan jaket bertudung longgar guna menghangatkan tubuh, sedang telapak kaki hingga betisnya yang mulus seperti digeranyangi dengan balok-balok es yang dingin. Berkali-kali lututnya bergetar, menggigil, namun matanya terus saja menatap Ardhi yang kini telah mulai mendapat balasan respon bersahabat dari remaja yang baru diketahuinya bernama Rendi. Seorang remaja yang sebelumnya nekat seperti kesetanan untuk bunuh diri itu, kini mulai menerima kepedulian Ardhi, dengan ikatan batin sesama yang Ardhi angga sebagai seorang teman. “pastilah Ardhi seorang pemuda terpelajar,” pikir Airin seketika.

“Oh iya Rend, kalo mau kita bisa bermalam disini, dipojokan teras mesjid ini.. tapi sebelumnya saya antarkan dulu Airin pulang, ok?” Mata Ardhi kini beralih memandang Airin, meminta persetujuan. Tapi perempuan yang dilihatnya justru menggelengkan kepala, membuat Ardhi heran.
“Eh knapa Rin?” Ardhi terheran-heran seketika.
“Enggak ah, males!” Airin menjawab dengan gusar, tidak mempu mereka-reka alasannya sendiri.
“Eh daripada kedinginan disini, mending kalian nginep dirumahku saja, gimana?” Tidak lama kemudian Rendi ikut menjajakan usulannya.
”Hah?! Ardhi dan Airin serentak menanggapi tawaran Rendi bersamaan.
“Tenang aja, aman kok kalian mau ngapain aja di rumah, karena pastinya Mom nggak ada, biasalah dia emang sering menghabiskan malamnya di tempat usaha penginapannya,” Rendi dengan santai meneruskan tawarannya. Mendengar, tiba-tiba Ardhi mulai merasa pelik sendiri, hingga pikirannya kembali mengingat kedai buah yang tidak jauh dari tempatnya kini.
“Eh mending kalian ikut saya ke kedai buah! selain disana tempatnya asik, pemiliknya juga asik diajak ngobrol, saya suka sengaja ke sana setiap kali penat, gimana?” Mendengarnya Rendi hanya mengangguk singkat, sedang Airin tetap terdiam. Tangan Ardhi kini mulai merogoh kesaku celana kasarnya sendiri, karena melihat wajah kedua temannya itu menyiratkan tanda setuju.

Tidak lama kemudian, Ardhi mengeluarkan sebuah ponsel di saku celana jeansnya, lalu seketika tersenyum, setelah menerima balasan pesan yang sbelumnya ia ketik dengan cepat. Terpikir olehnya, bahwa kedua temennya itu pasti akan menyukai kisah-kisah hikmah yang nantinya pasti diceritakan, sebagaimana yang Ardhi dapati saat mulai mengenal dan mengobrol dengan Mang Eman di kedai buah-buahan.

#kerlip-kerlip harapan
Ar, 19 September 2017

Kerlip-kerlip Harapan [9]

9. Di Payung Temaram

"Airin?!" Pekik pelan seorang lelaki saat mendapati seorang wanita dengan menoleh. Lalu tersenyumlah wanita itu, merasakan seperti ada yang meletup di dalam hati, menghangatkan jiwa, mencairkan kebekuan yang kian keras mengkristal ditempa sepi. Namun ada risau yang menyela, karena Airin melihat lelaki itu seperti takut mengadapinya, sebagaimana pertemuan lalu di losmen merah. lelaki yang telah menyita pikirannya kini benar-benar dekat dihadapannya, namun dirinya masih juga merasa kaku, sebagaimana lelaki itu.

"Kau masih mengingatku?'Airin memberanikan bicara, coba menafikan tatapan misterius dari laki-laki dihadapannya, yang kini masih tetap diam, membalasnya sebatas mengangguk, lalu kembali menghadapkan tubuh ke arah remaja yang tadi dilihatnya.

"Kenapa dengan dia sebenarnya?" Suara berat yang ditunggu akhirnya terdengar, membuat Airin berani mensejajarkan diri dengannya, ikut memandangi remaja yang tadi seperti kesetanan di jalan raya.

"Entahlah," Airin membalas cepat, meski merasa kecewa karena tidak benar-benar disambut oleh lelaki yang perlahan terus membayangi pikirannya sejak pertemuan sebelumnya.

"Airin, apa sebaiknya sekarang kita dekati orang itu?" Seketika Ardhi menoleh langsung ke wajah Airin, hingga perempuan itu mengangguk, ikut memicingkan mata, coba melihat remaja yang tersamar jarak dan temaram dari lampu jalan yang kurang baik. Lalu keduanya mulai melangkah, mendekat ke arah remaja yang masih terduduk sendiri cukup jauh dari hadapan mereka berdua.

"Ardhi, bagaimana kau hingga sepeduli itu pada orang yang sama sekali tidak kau kenal?" Airin membatin, berpikir ulang akan sikap Ardhi yang dianggapnya sebuah empati, "atau simpati?". Ingatan Airin kini kembalk berlari ke losmen merah, saat pertama kali bertemu Ardhi, hingga membuat dirinya merasa disayangi.

***

Malam temaram mengalir bersama lampu redup jalanan, menaungi seorang remaja yang tampak terpekur, dengan terus bertanya-tanya sendiri, membatin penuh amarah.

"Mengapa untuk mati saja sulit?" Umpatnya sendiri, namun nalarnya berangsur kembali, bersama satu kenyataan mengherankan yang baru ditemuinya. Lalu batinnya kembali mendesah, "kenapa aku tidak mati tertabrak saja?".

"HAHAHAHA!" Seketika tertawa lepas, meneriaki jalanan malam yang tidak peduli.

"Kau memang ingin membuatku tersiksa!" Penuh amarah, lantang menunjuk-nunjuk langsung ke langit hitam, hingga tercekat merasakan tenggorokannya kering. Matanya tiba-tiba tersentak, saat menjatuhkan pandangannya kembali ke jalan.

"Kenapa dik? ada yang bisa kakak bantu?" Dua orang telah menghampirinya cukup dekat. Lalu salah seorang laki-laki mendekat lagi hingga turun berjongkok, menyodorkan sebotol air mineral dengan tersenyum.

#kerlip-kerlip harapan
ar, 15 sept 2017